Jumat, 12 Desember 2008

KILAU EMBUN DI TEMBAKAU BAPAK

KILAU EMBUN DI TEMBAKAU BAPAK Mataku berkunang-kunang. Semua yang ada dalam ruangan itu tampak bergerak dan terus berputar-putar. Mulutku terkunci rapat tanpa bisa berkata apa-apa. Kakiku seperti terpasung kedalam lantai keramik. Kaku dan tak bisa kugerakkan sedikitpun juga. Tak kulihat lagi tukang pos menghilang dibalik tikungan didepan kantor. Semuanya menjadi samar dipenglihatanku. Berselaput dan akhirnya gelap……. *** Berkas cahaya itu menerobos di balik kisi jendela yang terbuat dari bambu-bambu gading. Rumah kecil yang sudah beberapa tahun ini menjadi markas besar LSM tempatku menghabiskan waktu lowong bila lagi suntuk kuliah. Hari itu, seperti hari-hari yang telah berlalu sayalah yang selalu datang paling awal. Ketika matahari belum menyembul di ufuk timur dan ketika rekan-rekan yang lain masih sibuk di rumah masing-masing. Boleh dibilang shalat subuhkupun lebih banyak kulakukan ditempat ini. Saya bisa maklum dengan kondisi teman-temanku itu. Semalam kami sampai larut malam masih masih bergerak di jalan-jalan di tengah kota ini menyebar berbagai famplet yang menjadi bagian dari tugas. Pamlet,brosur dan spanduk yang isinya mengecam keberadaan rokok. Kuperhatikan scedule acara yang tertulis rapi di atas karton putih. Agenda aksi para relawan tentunya. Terlihat coretan-coretan yang sengaja kami tandai. Agenda- agenda yang akan menjadi target kami berikutnya. Semuanya tampak jelas disana. Tempat ini suntuk itu sudah kuanggap sebagai rumah keduaku. Rumah kostku yang ada di tengah pemukiman padat di kawasan Mannuruki hanya sesekali saja kudatangi. Datang hanya untuk mengambil dan menyimpan buku-buku diktat, pakaian-pakaian kotor dan tidur sejenak melepas lelah setelah seharian bergelut dengan rutinitas kampus yang teramat menjemukan. Dan terkadang muncul di akhir bulan untuk membayar tagihan air dan listrik. Selebihnya saya pasti lebih banyak di kantor LSM. Belakangan ini kegiatan LSM makin padat dan sibuk. Nyaris menyita seluruh waktuku. Bahkan saking sibuknya kuliahkupun saya tinggalkan. Maklum. Sekarang yang penting bisa diabsenkan oleh teman maka nilai tak jadi soal. Semuanya bisa diatur apalagi kalau dosennya bisa kita jilat. Akhir-akhir ini persoalan penyalahgunaan obat psikoaktif dan psikotropika makin marak saja. Sebagai LSM yang konsen melakukan advokasi pada penyalahgunaan barang tersebut mau tidak mau kami semua sibuk untuk itu. Satu agenda besar kami adalah mendukung MUI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. Yach haram. Makanya sebagai petugas lapangan saya bersama beberapa rekan pasti selalu standbye di lapangan. Tugas utama saya adalah mengumpulkan fakta-fakta yang banyak dan terpercaya yang bisa mendukung kalau rokok itu benar-benar lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya. Kami semua seperti diatas angin kala rekan-rekan dari kesehatan mendukung visi dan misi kami. Data-data tentang bahaya rokok bagi kesehatan itu menjadi senjata pamungkas kami dalam membendung serangan orang-orang yang pro dengan rokok. Seperti kemarin-kemarin, tak lupa saya pelototi agenda minggu ini. Besok LSM kami diundang sebagai panelis disebuah diskusi debat yang diadakan oleh sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama. Besoknya salah seorang dari kami akan diutus ke singapura menghadiri seminar international yang lagi-lagi berbau rokok. Yach, seperti bau rokok yang tiba-tiba menyeruak dan masuk ke lubang hidungku. Secara refleks mataku mencari sumber asap itu. Ternyata benar. Dipojok ruangan kantor tampak Jayadi yang terlihat serius di depan komputernya. Terlihat fokus didepan komputer dengan sebatang rokok terjepit ditangan. “Ide-ide rasanya makin ngejreng kalau ada rokok ditangan, Bro.” itu alasannnya setiap kutanya kenapa dia masih juga merokok. Dilematis memang. Dan bagi saya sendiri ini hal yang lucu dan menggelikan. Aneh. Diluar sana kami semua dikenal sebagai relawan dan sosok-sosok yang selalu berteriak-teriak lantang supaya keberadaan rokok dibatasi. Kalau perlu dihilangkan dalam peredaran. Terlebih bagi para remaja dan anak-anak. Alasannya banyak. Rokok jelas-jelas bisa merusak fisik dan mental mereka yang masih labil. Rokok selalu dituding sebagai pemicu timbulnya tindak kriminal dikalangan anak-anak dan remaja. Atau kalau mau jujur alasan yang paling bijak diantara semua alasan pelarangan itu adalah karena mereka belum bisa mencari nafkah sendiri. Apalagi menurut hasil survey kalau orang miskin di ndonesia menghabiskan 12 % pendapatannnya hanya untuk rokok saja. Memiriskan tentunya. Perlahan kudekati Jayadi. Menatap sesaat kelayar komputernya lalu berhenti ditangannya yang masih menjepit rokok yang hampir tinggal sedikit. “Lagi buat laporan pesanan pimpinan.” Celutuk Jayadi sudah membaca pikiranku. Dilayar itu dengan jelas terlihat bahan-bahan persentase yang akan dipakai pak Rusli,SH dalam debat besok. Hem, luar biasa. Pikirku galau. Isi makalah itu begitu bersemangat memaparkan fakta-fakta seputar bahaya rokok. Saya bisa lihat tabel-tabel rumit yang berisi informasi bahaya racun yang terkandung dalam sebatang rokok. Fantastis dan mungkin terkesan mengada-ngada. Apa benar racun yang ada dalam rokok sebanyak 4000 jenis racun. Ah, ini kata orang-orang dari ahli kesehatan. Entah siapa yang pertama kali mengatakannya.kami sebagai tim relawan hanya copy paste semua teori itu. Hebatnya lagi dalam makalah itu telah disiapkan pula bantahan-bantahan yang akan diberikan buat kubu lawan besok. Kami sebagai kubu kontra rokok sudah tahu titik kelemahan musuh. Pihak musuh selalu menggunakan alasan ekonomi dan alasan tenaga kerja dalam legalisasi rokok. Semua fakta yang akan meruntuhkan mereka lengkap dalam makalah yang sementara digarap oleh Jayadi. “Saya yakin sekali. Besok pak Rusli, SH bisa membabat fanelis lawan.” Nada keyakinan kembali terlontar dari bibir jayadi. Rokok yang tinggal filternya itu kembali dihisap dalam-dalam sebelum melayang masuk ke asbak rokok yang sudah menggunung yang sebagian abunya bahkan tercecer di atas meja. Kotor dan bau tentunya. Jayadi kembali mengambil rokok yang ada dalam bungkusan. Diselipkan diantara bibir lalu asap tebal itu kembali mengepul. Liukan-liukan asap itu seperti liukan pikiranku yang sekarang berdiri diatas ambang keraguan. Pendirianku goyah. Hatiku kembali rapuh. Ah entah mengapa sekarang saya bimbang dengan pendirianku semula. Sepertinya taringku yang dulu rincing mencabik mangsa kini tanggal dan ompong. Semangat yang kemarin begitu menggebu-gebu kini mulai redup bahkan nyaris mati. Saya kembali teringat dengan pengalamanku bersama Jayadi. Bisakah orang seperti dia bertahan duduk berlama-lama di depan komputernya tanpa sebatang rokok di selipan jarinya. Saya yakin tidak. Bahkan sewaktu kami berdua ditugaskan disuatu daerah yang terpencil Jayadi tak ubahnya seperti mayat hidup. Persiapan rokoknya habis sementara ditempat itu tak ada warung penduduk yang menjual rokok. Mampus dia. *** Matahari di atas cakrawala kian terik memanggang. Waktu telah menunjuk angka pukul delapan pagi. Saatnya kembali turun kelapangan untuk mengumpulkan data-data yang kami butuhkan. Kali ini sasaran timku adalah kalangan remaja dan anak-anak sekolahan yang biasa nongkong ditempat-tempat santai. Mall, pantai, taman dan bahkan lobby perkantoran biasanya dijadikan anak-anak itu ngumpul bersama rekan-rekannya. Disanalah tujuan kami hari itu. Ketukan cukup keras di pintu depan membuatku terkesiap. Kaget dari lamunan yang tadi sempat membuatku pangling seperti orang bodoh. Rupanya seorang petugas pos. “Irwan jafar…….” “Iya, Pak. Itu saya sendiri….” “Ini ada kiriman paket dari kampung.” “Terimaksih banyak Pak.” “ Sama-sama. Kalau begitu saya permisi. Wasalam” Sepeninggal pak pos, surat bersampul putih polos itu saya buka. Perlahan tapi pasti sampul yang dilem dengan nasi putih itu saya buka. Ada lembaran uang plastik didalamnya. Lembaran-lembaran itu di bungkus dengan carikan kertas yang berisi tulisan tangan abah saya. Irwan anakku. Syukur alhamdulillah. Panen daun tembakau yang abah tanam di lahan tidur itulah yang menjadi nafas kita kali ini. Tak ada yang bisa diharapkan dari sawah dan kebun kopi. Sawah kita rusak oleh hama sementara harga kopi jatuh. Ungtunglah daun-daun tembakau bapak ini masih meneteskan embun yang berkilau. Sepasang kakiku bergetar hebat. Kembali mataku menoleh kearah Jayadi yang masih sibuk dengan asap-asap rokoknya. Asap-asap yang seperti asap cerobong pabrik itu mulai memenuhi ruangan yang memang sudah sumpek itu. Tiba -tiba saya teringat dengan agendaku hari ini. Saya teringat dengan kuliahku. Dan pastinya saya membayangkan lambai-lambai daun tembakau Bapak yang menyimpan tetes-tetes embun dikala pagi. Semuanya mengisi otakku. Membuat perang batin itu makin berkecamuk. Saya anak petani yang hidup dari daun tembakau. Disisi lain saya adalah aktifis anti rokok dan tembakau. Saya dilema. Saya tak ubahnya bunglon yang berubah tidak pada tempatnya. Ah, ternyata tetes embun itulah yang mampu menghilangkan dahagaku ditengah oase yang makin kerontang.

Rabu, 23 Januari 2008

merajut pelangi dibalik pekat mega

merajut pelangi,dibalik pekat mega Jam dinding baru sajak berdetak enam kali. Pakaian kebesaran sudah terpasang rapi ditubuhku menutupi tempat-tempat yang ‘kuanggap” sebagai aurat yang tak bisa dilihat oleh orang yang bukan muhrimku. Seperti lazimnya perempuan yang lain. Hanya bagian wajah dan kedua telapak tanganku yang tak tertutupi oleh jubah kebesaran.tak ada pakaian ketat.tak ada pakaian yang transparan.semuanya tertutupi dengan amik tanpa kesan mengobral lekuk tubuh. Itulah keseharianku yang saat ini aktif disebuah organisasi kemanusiaan dimana aku duduk sebagai salah seorang staff operasi. Posisi seperti itu selalu menuntut waktu lebih untuk selalu siap kapan saja bila tugas memanggil. Terkadang seharian dikantor tak jarang pula dilapangan.berinteraksi langsung dengan sasaran dan audience bahkan sampai malam tiba. Hanya ketulusan dan keinginan untuk berguna pada orang lain, membuat diriku tetap enjo dengan semua itu. Praktis setiap hariku selalu disibukkan dengan urusan lembaga dan urusan kampus sebagai salah seorang mahasiswa disebuah universitas swasta.“Naik becakki, Bu?’ lugu dan polos seorang remaja tanggung yang menawarkan jasa becaknya kepadaku. Sebenarnya aku sudah terbiasa jalan kaki menuju jalan raya tempat aku mengambil angkot yang membawaku kekantor. Tapi entah mengapa hari itu aku ingin naik becak.sekedar membantu daeng becak itu.aku yakin dia sangat berharap akulah pelanggan pertamanya pagi itu.“turun didepan lembaga daeng nah!”. Sigar dan penuh semangat, daeng becak itu merapikan posisi becaknya dan mengibaskan handuk lusuhnya didudukan becak.mungkin dalam pikirannya tak pantaslah seorang gadis cantik mengotori gaun kantornya dengan debu becak yang banyak melekat karena jarang dibersihkan. Aku yakin. Diapun ngak bakalan percaya kalau pelanggan pertamanya pagi itu bukanlah wanita biasa.Kantor masih sepi. Sekilas mataku masih sempat melirik jam dinding yang masih setia dengan tugasnya sepanjang masa. Pukul 08.00 yang jika mengikuti aturan kantor yang sebenarnya, sudah selayaknya jika para pekerja sudah sibuk dimeja masing-masing. Tapi yang kulihat tak seorangpun staff yang ada ditempatnya.hanya cleaning cervice yang tampak sibuk menyelesaikan tugasnya pagi itu“pagi Tiara. Maaf terlambat lagi. Air dikostku macet lagi!”. Juwita, salah seorang staff wanita dating tergopoh-gopoh. Biasalah. Sifat seorang wanita yang serba ribet. Aku yakin.alasan air yang macet hanya alas an belaka. Waktu yang lama pasti dihabiskan didepan cermin untuk bersoleh secantik mungkin. Dandanan yang menor itu yang bicara. Syukur tak lama kemudian rekan-rekan yang lain mulai berdatangan. Tanpa ditanya mereka-mereka langsung mengoceh alas an keterlambatan mereka. Aair yang macet, banjir yang masuk kerumah, terlambat bangun karena semalam begadang menyelesaikan tugas dan banyak alas an lain lagi yang kutahu itu hanya sebuah alibi.‘Tiara.ini ada surat masuk dari sebuah lembaga kemahasiswaan. Dia meminta lembaga kita turut hadir sebagai panelis. Dan tentu saja kamu yang lebih tahu untuk hal seperti ini”. Resky, yang dipercaya sebagai sekretaris dating membawa surat kemejaku.sekilas aku hanya melirik surat yang berkop sebuah nama lembaga.“Pak ketua lebih berhak!”“pak ketua sudah melimpahkan kepadamu.beliau berhalangan karena masih diluar kota.jadi, sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi mereka akan dating menjemput”“okey.nanti aku usahakan.oh,yach. Kalau nanti ada surat masuk buat aku, langsung masukin aja kedalam kotak suratku.”. sejak bermetamormosa menjadi diriku yang sekarang ini, respon masyarakat diantififasi dengan membuat kotak surat ini. Banyak kecaman, cemohan yang menjatuhkan ketimbang membangun yang kuterima.aku maklum.masyarakat belum terbiasa dengan adanya perbedaan seperti ini.hal yang masih dianggap tabuh.Benar saja,tak lama kemudian salah seorang panitia pelaksana dating untuk menjemput. Hal ini terlihat dengan pakaian resmi organisasinya.“mbak yang akan menjadi pembicara dalam seminar nanti?” dengan sopan pemuda yang sedikit gondrong itu bertanya padaku yang lagi sibuk menyiapkan naskah-naskah dan dokumen yang akan kupakai nanti.“benar sekali dik.aku yang akan menghadiri seminar itu. Ngak apakan?’ sedikit nakal aku lembarkan senyum hangatku.“oh,ngak apa. Malah lebih asyik karena pembicaranya ternyata seorang gadis cantik. Pasti jadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan kami ini” guyonanku ditimbali dengan guyonan segar pula.aku hanya tersenyum simpul.rupanya diapun belum tahu siapa aku yang sebenarnya.“okey dik.kita langsung berangkat.saya tak ingin merusak agenda acara karena keterlambatanku ditempat.‘okey,mbak.kita berangkat sekarang”Motorpun keluar dari halaman kantor dan melaju kencang ditengah ramainya laluluintas didjalan raya. Lincah, pemuda tanggung itu menyalip angkot-angkot yang juga berlomba menjaring penumpang sebanyak-banyaknya.semua serba ingin terdepan seperti takut kehilangan sesuatu***Mewah dan elegan. Itu kesan pertamaku dengan tempat seminar ini.pengalaman sebagai pembicara didepan orang banyak dengan berbagai tipe,merupakan tantangan yang cukup berkesan.jujur rasa nervaus itu selalu dating menggoda.suasana yang berbeda, audience yang berbeda membuatku harus bisa menyesuaikan diri dan pembawaan. Rupanya saat itu diriku dipanel dengan pembicara lain dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki.seorang ustazah yang sangat terkenal, ahli psikologi dan seorang lagi dari pihak pemerintah kota. Sanggupkah aku berdiri sejajar dengan mereka?Suasana makin semarak dengan membludaknya peserta. Ruangan yang cukup luas itu tak menampung peserta yang terus berdatangan meski acara sebentar lagi dimulai. Diatas panggung, mataku bisa melihat seluruh ruangan yang kini sesak oleh pengunjung.hebat juga panita pelaksana mengangkat tema seminar.ternyata peminatnya begitu banyakSeminar hari itu dimulai dengan pengisian lembaran biodata yang diberikan oleh pihak panitia yang mesti diisi dengan lengkap. Dari biodata yang dibacakan oleh moderator diawal seminar, aku bisa tahu nama-nama panelis yang lain. Siapa nama ustazah muda,psikologi yang ternyata masih mahasiswa dan seorang staff pemerintah kota yang membidani hal-hal seperti yang menjadi bahan seminar hari itu.Pembukaan seminar langsung disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta yang berusaha mengorek informasi dari fanelis dari sudut pandang dan bidang ilmu yang dimiliki.kesan untuk menimbulkan perdebatan antar panelis sering dilontarkan oleh peserta.“saya ingin bertanya kepada ustazah hasisah. Menurut anda bagaimana dengaan keberadaan waria dimasyarakat?’. Tanya seorang peserta dari bagian belakang. Pertanyaan yang ditujukan kepada panelis pertama.‘menurut saya,waria yang biasa kita kenal sebagai orang yang terlahir sebagai laki-laki namun ingin mengubah dirinya menjadi perempuan. Mengubah takdir yang sudah ditentukan oleh penciptanya. Dalam kita yang saya tahu, mereka-mereka itu akan mendapat murka dari tuhan dan kelak masuk kedalam neraka. Mereka;ah kaum yang mengingkari eksistensinya sebagai manusia.untuk itu saya berpesan kepada kaum waria untuk segera bertobat sebelum terlambat.mereka harus sadar dan kembali sebagai laki-laki kebanyakan. Wong wanita aja sudah begitu banyak ditambah lagi dengan wanita jadi-jadian.kan lucu!!”penjelasan yang cukup panjang yang dibumbui dengan guyunan yang sedikit serius tak ayal menyundang kelak tawa dari peserta. Riuh peserta membuat suasana sedikit gaduh.hal itu segera diantisipasi oleh panitia dengan melontarkan pertanyaan yang sama untuk ditanggapi panelis lain. Berungtung, tanggapan acak itu ditujukan kepadaku“menurut mbak tiara bagaimana?’“terimaksih sebelumnya saya sampaikan kepada moderator.tapi sebelumnya saya ingin memperjelas sesuatu yang mungkin tadi belum sempat dibacakan diawal seminar. Pertanyaan itu akan saya jawab sesuai kapasitas saya sebagai aktifis dan salah seorang waria itu sendiri!”sengaja aksen aku pertegas pada saat menyebut kata waria. Aku ingin lihat respon mereka yang kini tahu kalau akupun waria.gegap gempita akubat guyunan ustadz muda tadi tiba-tiba senyap dan sunyi dengan penuturanku barusan. Benar,ternyata banyak yang tak menyangka sosok yang kalem dengan pakaian muslimah itu ternyata seorang waria.“sayalah salah seorang transeksual itu yang dimasyarakat sering dikenal dengan banyak istilah. Waria, wadam, bencong dan banyak istilah lainnya yang kadang membuat kuping kami jadi panas dan gatal.hidup dalam penuh tekanan dan penolakan dari masyarakat merupakanmakanan harian kami.tak ada yang terlewatkan seakan kami adalah objek yang potensial untuk menjadi bahan ekpoiltasi dan cercaan belaka.bahkan keinginan untuk tampil secara baik sering ditanggapi lain oleh masyarakat.keputusanku untuk menjadi waria yang muslimah seperti saat ini mendapat cercaan dari berbagai pihak dengan membawa nama-nama agama dan etika segala.waria juga manusia. Kami juga ungin diterima layaknya manusia yang lain tanpa harus dicap sebagai sampah masyarakat. Tak ada waria yang melacurkan diri kalau tak ada pria sebagai pelanggannya dan banyak lapangan pekerjaan. Kami hanya ingin menyeimbangkan antara jiwa dan raga kami.jiwa kami adalah seorang wanita yang “terperangkap” dalam raga seorang laki-laki.salahkan jika bentuk penerimaan eksistansi tersebut kami lakukan dengan melakukkan penyesuaian raga bukan jiwa.raga lebih relaitf disbanding jiwa.mungkin itu penjelasan yang bisa saya berikan menyangkut pertanyaan yang sama.terimakasih!”Aku tak tahu aplaus dari peserta sebagai bentuk cemohan atas penjelasanku atau dukungan atas perjuangan kaumku yang ingin merajut asa ditengah badai yang menerpa.seminar bubar membawa kesimpulan yang ada dibenak masing-masing.sementara itu,didalam dadku tetap aku yakini suatu hal.jilbab adalah bagian dari hidupku sebagai seorang muslimah,meski hanya waria Jam dinding baru sajak berdetak enam kali. Pakaian kebesaran sudah terpasang rapi ditubuhku menutupi tempat-tempat yang ‘kuanggap” sebagai aurat yang tak bisa dilihat oleh orang yang bukan muhrimku. Seperti lazimnya perempuan yang lain. Hanya bagian wajah dan kedua telapak tanganku yang tak tertutupi oleh jubah kebesaran.tak ada pakaian ketat.tak ada pakaian yang transparan.semuanya tertutupi dengan amik tanpa kesan mengobral lekuk tubuh. Itulah keseharianku yang saat ini aktif disebuah organisasi kemanusiaan dimana aku duduk sebagai salah seorang staff operasi. Posisi seperti itu selalu menuntut waktu lebih untuk selalu siap kapan saja bila tugas memanggil. Terkadang seharian dikantor tak jarang pula dilapangan.berinteraksi langsung dengan sasaran dan audience bahkan sampai malam tiba. Hanya ketulusan dan keinginan untuk berguna pada orang lain, membuat diriku tetap enjo dengan semua itu. Praktis setiap hariku selalu disibukkan dengan urusan lembaga dan urusan kampus sebagai salah seorang mahasiswa disebuah universitas swasta.“Naik becakki, Bu?’ lugu dan polos seorang remaja tanggung yang menawarkan jasa becaknya kepadaku. Sebenarnya aku sudah terbiasa jalan kaki menuju jalan raya tempat aku mengambil angkot yang membawaku kekantor. Tapi entah mengapa hari itu aku ingin naik becak.sekedar membantu daeng becak itu.aku yakin dia sangat berharap akulah pelanggan pertamanya pagi itu.“turun didepan lembaga daeng nah!”. Sigar dan penuh semangat, daeng becak itu merapikan posisi becaknya dan mengibaskan handuk lusuhnya didudukan becak.mungkin dalam pikirannya tak pantaslah seorang gadis cantik mengotori gaun kantornya dengan debu becak yang banyak melekat karena jarang dibersihkan. Aku yakin. Diapun ngak bakalan percaya kalau pelanggan pertamanya pagi itu bukanlah wanita biasa.Kantor masih sepi. Sekilas mataku masih sempat melirik jam dinding yang masih setia dengan tugasnya sepanjang masa. Pukul 08.00 yang jika mengikuti aturan kantor yang sebenarnya, sudah selayaknya jika para pekerja sudah sibuk dimeja masing-masing. Tapi yang kulihat tak seorangpun staff yang ada ditempatnya.hanya cleaning cervice yang tampak sibuk menyelesaikan tugasnya pagi itu“pagi Tiara. Maaf terlambat lagi. Air dikostku macet lagi!”. Juwita, salah seorang staff wanita dating tergopoh-gopoh. Biasalah. Sifat seorang wanita yang serba ribet. Aku yakin.alasan air yang macet hanya alas an belaka. Waktu yang lama pasti dihabiskan didepan cermin untuk bersoleh secantik mungkin. Dandanan yang menor itu yang bicara. Syukur tak lama kemudian rekan-rekan yang lain mulai berdatangan. Tanpa ditanya mereka-mereka langsung mengoceh alas an keterlambatan mereka. Aair yang macet, banjir yang masuk kerumah, terlambat bangun karena semalam begadang menyelesaikan tugas dan banyak alas an lain lagi yang kutahu itu hanya sebuah alibi.‘Tiara.ini ada surat masuk dari sebuah lembaga kemahasiswaan. Dia meminta lembaga kita turut hadir sebagai panelis. Dan tentu saja kamu yang lebih tahu untuk hal seperti ini”. Resky, yang dipercaya sebagai sekretaris dating membawa surat kemejaku.sekilas aku hanya melirik surat yang berkop sebuah nama lembaga.“Pak ketua lebih berhak!”“pak ketua sudah melimpahkan kepadamu.beliau berhalangan karena masih diluar kota.jadi, sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi mereka akan dating menjemput”“okey.nanti aku usahakan.oh,yach. Kalau nanti ada surat masuk buat aku, langsung masukin aja kedalam kotak suratku.”. sejak bermetamormosa menjadi diriku yang sekarang ini, respon masyarakat diantififasi dengan membuat kotak surat ini. Banyak kecaman, cemohan yang menjatuhkan ketimbang membangun yang kuterima.aku maklum.masyarakat belum terbiasa dengan adanya perbedaan seperti ini.hal yang masih dianggap tabuh.Benar saja,tak lama kemudian salah seorang panitia pelaksana dating untuk menjemput. Hal ini terlihat dengan pakaian resmi organisasinya.“mbak yang akan menjadi pembicara dalam seminar nanti?” dengan sopan pemuda yang sedikit gondrong itu bertanya padaku yang lagi sibuk menyiapkan naskah-naskah dan dokumen yang akan kupakai nanti.“benar sekali dik.aku yang akan menghadiri seminar itu. Ngak apakan?’ sedikit nakal aku lembarkan senyum hangatku.“oh,ngak apa. Malah lebih asyik karena pembicaranya ternyata seorang gadis cantik. Pasti jadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan kami ini” guyonanku ditimbali dengan guyonan segar pula.aku hanya tersenyum simpul.rupanya diapun belum tahu siapa aku yang sebenarnya.“okey dik.kita langsung berangkat.saya tak ingin merusak agenda acara karena keterlambatanku ditempat.‘okey,mbak.kita berangkat sekarang”Motorpun keluar dari halaman kantor dan melaju kencang ditengah ramainya laluluintas didjalan raya. Lincah, pemuda tanggung itu menyalip angkot-angkot yang juga berlomba menjaring penumpang sebanyak-banyaknya.semua serba ingin terdepan seperti takut kehilangan sesuatu***Mewah dan elegan. Itu kesan pertamaku dengan tempat seminar ini.pengalaman sebagai pembicara didepan orang banyak dengan berbagai tipe,merupakan tantangan yang cukup berkesan.jujur rasa nervaus itu selalu dating menggoda.suasana yang berbeda, audience yang berbeda membuatku harus bisa menyesuaikan diri dan pembawaan. Rupanya saat itu diriku dipanel dengan pembicara lain dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki.seorang ustazah yang sangat terkenal, ahli psikologi dan seorang lagi dari pihak pemerintah kota. Sanggupkah aku berdiri sejajar dengan mereka?Suasana makin semarak dengan membludaknya peserta. Ruangan yang cukup luas itu tak menampung peserta yang terus berdatangan meski acara sebentar lagi dimulai. Diatas panggung, mataku bisa melihat seluruh ruangan yang kini sesak oleh pengunjung.hebat juga panita pelaksana mengangkat tema seminar.ternyata peminatnya begitu banyakSeminar hari itu dimulai dengan pengisian lembaran biodata yang diberikan oleh pihak panitia yang mesti diisi dengan lengkap. Dari biodata yang dibacakan oleh moderator diawal seminar, aku bisa tahu nama-nama panelis yang lain. Siapa nama ustazah muda,psikologi yang ternyata masih mahasiswa dan seorang staff pemerintah kota yang membidani hal-hal seperti yang menjadi bahan seminar hari itu.Pembukaan seminar langsung disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta yang berusaha mengorek informasi dari fanelis dari sudut pandang dan bidang ilmu yang dimiliki.kesan untuk menimbulkan perdebatan antar panelis sering dilontarkan oleh peserta.“saya ingin bertanya kepada ustazah hasisah. Menurut anda bagaimana dengaan keberadaan waria dimasyarakat?’. Tanya seorang peserta dari bagian belakang. Pertanyaan yang ditujukan kepada panelis pertama.‘menurut saya,waria yang biasa kita kenal sebagai orang yang terlahir sebagai laki-laki namun ingin mengubah dirinya menjadi perempuan. Mengubah takdir yang sudah ditentukan oleh penciptanya. Dalam kita yang saya tahu, mereka-mereka itu akan mendapat murka dari tuhan dan kelak masuk kedalam neraka. Mereka;ah kaum yang mengingkari eksistensinya sebagai manusia.untuk itu saya berpesan kepada kaum waria untuk segera bertobat sebelum terlambat.mereka harus sadar dan kembali sebagai laki-laki kebanyakan. Wong wanita aja sudah begitu banyak ditambah lagi dengan wanita jadi-jadian.kan lucu!!”penjelasan yang cukup panjang yang dibumbui dengan guyunan yang sedikit serius tak ayal menyundang kelak tawa dari peserta. Riuh peserta membuat suasana sedikit gaduh.hal itu segera diantisipasi oleh panitia dengan melontarkan pertanyaan yang sama untuk ditanggapi panelis lain. Berungtung, tanggapan acak itu ditujukan kepadaku“menurut mbak tiara bagaimana?’“terimaksih sebelumnya saya sampaikan kepada moderator.tapi sebelumnya saya ingin memperjelas sesuatu yang mungkin tadi belum sempat dibacakan diawal seminar. Pertanyaan itu akan saya jawab sesuai kapasitas saya sebagai aktifis dan salah seorang waria itu sendiri!”sengaja aksen aku pertegas pada saat menyebut kata waria. Aku ingin lihat respon mereka yang kini tahu kalau akupun waria.gegap gempita akubat guyunan ustadz muda tadi tiba-tiba senyap dan sunyi dengan penuturanku barusan. Benar,ternyata banyak yang tak menyangka sosok yang kalem dengan pakaian muslimah itu ternyata seorang waria.“sayalah salah seorang transeksual itu yang dimasyarakat sering dikenal dengan banyak istilah. Waria, wadam, bencong dan banyak istilah lainnya yang kadang membuat kuping kami jadi panas dan gatal.hidup dalam penuh tekanan dan penolakan dari masyarakat merupakanmakanan harian kami.tak ada yang terlewatkan seakan kami adalah objek yang potensial untuk menjadi bahan ekpoiltasi dan cercaan belaka.bahkan keinginan untuk tampil secara baik sering ditanggapi lain oleh masyarakat.keputusanku untuk menjadi waria yang muslimah seperti saat ini mendapat cercaan dari berbagai pihak dengan membawa nama-nama agama dan etika segala.waria juga manusia. Kami juga ungin diterima layaknya manusia yang lain tanpa harus dicap sebagai sampah masyarakat. Tak ada waria yang melacurkan diri kalau tak ada pria sebagai pelanggannya dan banyak lapangan pekerjaan. Kami hanya ingin menyeimbangkan antara jiwa dan raga kami.jiwa kami adalah seorang wanita yang “terperangkap” dalam raga seorang laki-laki.salahkan jika bentuk penerimaan eksistansi tersebut kami lakukan dengan melakukkan penyesuaian raga bukan jiwa.raga lebih relaitf disbanding jiwa.mungkin itu penjelasan yang bisa saya berikan menyangkut pertanyaan yang sama.terimakasih!”Aku tak tahu aplaus dari peserta sebagai bentuk cemohan atas penjelasanku atau dukungan atas perjuangan kaumku yang ingin merajut asa ditengah badai yang menerpa.seminar bubar membawa kesimpulan yang ada dibenak masing-masing.sementara itu,didalam dadku tetap aku yakini suatu hal.jilbab adalah bagian dari hidupku sebagai seorang muslimah,meski hanya waria