Rabu, 14 Januari 2009

TEPUK HATI HAMPA

Mustinya sekarang aku tertawa lantang dengan kepergian nia menuju keabadiannya. Sebab orang yang kunggap sebaai benteng pemisah antara diriku dengan pria yang kucinta kini telah tiada. Tak ada lagi yang akan menghalangi untuk mendapatkan hati yang kucari. Tetapi aku tak melakukannya. Hatikupun pilu dengan kepergian nia. Terlebih setelah saya lihat lelehan air mata dari pria yang mencinta dan di cintanya itu. Yang pastinya semua itu terjadi karena hatiku yang teramat halus dan perasa sama seperti layaknya wanita sejati. Aku tak tega………….. *** Sekelompok ayam kampung yang bertengger di atas dahan-dahan tidak merasa terusik ketika saya melintas di bawahnya. Kelabat bayangku ditengah gelap malam seakan tak cukup mampu mengusik mimpi indah binatang yang bersuara lantang itu. Pantaslah. Malam belum beranjak dari titik larutnya. Apatahlagi fajar yang kerap mereka sambut dengan kokok nan gaduh masihlah lama. Bergegas kulangkahkan sepasang kakiku keluar dari pekarangan gubuk mungil dimana selama ini aku menumpahkan tangis dikala pilu dan berdendang ria dikala bahagia. Tujuanku hanya satu. Saya harus sudah tiba di kawasan hutan lindung Balang yang ada nun jauh di Sinjai sebelum fajar menyingsing pagi. Dari bisik angin kutahu kalau orang yang kuharap memanggul harapan cintaku akan datang ketempat itu sebelum dirinya pergi jauh ke tanah Malaysia sana. Jalanan terjal berliku, serabut-serabut akar hutan yang menjuhtah-juntah ke jalan setapak tiada cukup mampu menahan langkah-langkah kakiku. Dorongan jiwa yang tak bisa kumengerti dan kubaca apa dan bagaimana. Kuturuti saja insting dan dorongan hasrat yang kini menguasai akal sehatku kalau di hutan lindung Balang nanti bisa kudapatkan kembali obat penawar atas rasa sakit hati yang selama ini kerontang layu oleh rasa rindu yang kutanam rapat-rapat dalam hatiku. Saat tiba, hutang lindung itu masihlah lelap dalam sunyi. Hanya siul dan cicit burung-burung kecil yang melompat dari ranting ke dahan dan ke pohon lainnya mencari madu dan sari. Terdengar pula tarikan nafasku yang masih ngos-ngosan setelah menempuk jarak yang tak bisa dibilang dekat. Bulu’lohe di kabupaten Gowa- hutang lindung Balang di Sinjai sejauh mata memandang hanyalah hutan lebat yang terlihat. Kabut tipis masihlah enggan beranjak dari kawasan hutan itu. Kawasan hutan yang mirip tapi tak sama. Hutang lindung balang dengan hutan di puncak gunung bulu’ lohe menyimpan kesamaan yang tentu dengan keunikan masing-masing. Sengaja kudatang ke tempat sunyi itu mendahului matahari yang sebentar lagi mengufuk di barisan pegunungan sebelah timur sana. Kubiarkan saja pakaian panjang khas dusunku basah oleh embun-embun semalam. Embun yang berupa biji-biji mutiara yang berkilau indah tertimpa cahya yang mulai samar dari batas lazuardi. Kubiarkan rembesan dingin itu menyatu dengan keringatku yang masih menyimpan hangat dan gerah ditubuhku. Disebuah batang pohon yang cukup besar kusandarkan tubuh lelahku sambil menatap awas ketengah rimbunan pohon kamboja yang mulai berpucuk-pucuk baru. Dibawah pohon berbunga indah itulah seonggok batu hitam berdiri bisu dalam keheningan. Nisan pusara Nia. Menyebut nama Nia, luka lama yang tertoreh dihatiku seakan kembali tersayat sembilu bambu. Luka yang memborok itu seakan tersayat membentuk luka baru yang teramat menyakitkan. Perih dan sakit yang tak mungkin orang lain tahu dan mau tahu. Gadis kaya di tanah Bikeru itulah yang telah berdiri sebentuk tameng pemisah antara diriku dengan orang yang kucinta. Dia telah menumpahkan rona kecewa dalam setiap raut wajahku. Dia merebut hati pria yang selama ini ku jadikan aktor utama dalam skenario mimpi-mimpi indahku. Pria itu yang kumaksud telah datang. Dari kejauhan, mulanya samara-samar di batasi oleh kabut dan rapatnya pohon-pohon hutan. Sosok itu makin dekat. Makin dekat dan akhirnya tampak dengan jelas dimataku siapa dia. Orang itu langsung menuju pusara Nia yang berpayung daun-daun kamboja yang hanya tumbuh di atas nisan itu. Sepasang mataku terus menatap sosok kekar itu. Sesekali pandangan mataku beralih ke atas nisan Nia. Oh, Tuhan. Kurasakan lagi tetes air mata yang lama mongering itu kembali membasah di pipiku. Kulihat pria itu bersimpuh dengan penuh takzim di depan batu nisan Nia. Kulihat dengan teramat jelas wajah tampannya basah oleh linangan air mata yang pastilah teramat memilukannya. Linangan yang sama kualami meski dengan kesedihan yang berbeda. Saya masih betah bersembunyi dibalik punggung pohon besar itu. Sayup-sayup telingahku menangkap alunan surat Yasiin yang dibacakan penuh penjiwaan. Begitu mendayu membuatku larut didalamnya. Kulayari samudra perasaanku meski saat itu saya sadar kalau doa dan cinta itu buat seseorang yang kini lelap dibawah sana. Kutangkap pula bisik-bisik cinta, ungkapan kepedihan tiada tara dari laki-laki itu, kekangenan yang teramat besar, dan kerinduan yang lagi-lagi ditujukan buat Nia. Hanya Nia dan Nia. Entah yang keberapa kalinya diriku dipaksa menahan hati dan kecewa mendengar semua itu yang terus menggempur perasaanku yang kini hancut lebur berkeping-keping. Sesaat, kesadaran akan siapa dia, siapa Nia, dan siapa diriku kembali memeluk pasrah. Saya hanyalah seorang insan yang hanya berhak menebar cinta namun tak bisa memaksa kehendak kepada siapa yang musti menerimanya dan membawanya padaku sebagai upeti cinta buat diriku. Harapan adalah semoga tak berujung pada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Seperti hujan yang kerap membasah tanah, seperti arak-arakan megah membawa warta basah, seperti desah angin yang menyapa gunung dan lembah bulu’lohe seperti itulah cinta wanita yang ingin sempurna ini.yach, meski harus memendam hasrat yang disekat oleh ketaklaziman yang tega mencampakkan hasratku didasar harapan yang terdalam. “ Kamu kejam, Kak. Aku tak tahu kamu buta karena gulita atau karena silau,kamu tuli karena senyap atau karena bising. Kau tak pernah memandang diriku dan memutuskan pergi bersama Nia. Kadang muncul rasa muakku, rasa benciku, rasa dendamku kepadamu seperti rasa yang kuperuntukkan bagi seorang Nia. “ rutuk-rutuk samar itu terus meletup dalam rongga dada ini bersama aliran air mata yang terus menganak sungai. Mungkin kau lupa, pangeranku. Saat-saat kita bersama dulu. Saat dimana nama Nia belum ada diantara kita. Kita kerap bersenda gurau, tertawa bersama, dan bahkan menangis bersama pula. Suka duka kehidupan sebagai seorang mahasiswa dan mahasiwi yang sama-sama jauh di perantauan kita jalin sebentuk persahabatan yang indah. Apa mungkin karena itulah aku tak sadar kalau wanita yang kerap kau sebut-sebut sebagai wanita idamanmu adalah Nia. Nia lah yang berhasil mencuri hatimu. Saat itu diriku terlalu larut dengan keyakinanku kalau modal persahabatan ini akan memudahkan aku untuk memiliki hatimu seutuhnya. Ternyata aku hanya larut dalam mimpi yang kucipta sendiri. Semua keindahan yang kurasakan saat itu membuatku lupa kalau dirimu masihlah seorang pria yang tentunya mencari pendamping hidup dari wanita sejati. Bukan wanita sepertiku ini. Wanita sejati itu adalah Nia. Bukan Nirwana. Tubuhku makin merapat seakan menyatu dengan lumut-lumut yang tumbuh di pohon besar itu. Tak kupedulikan sorot mata gerah dari kawanan semut yang merasa terganggu. Tak kupeduli kalang kabutnya sekawanan rayap-rayap pohon yang sarangnya rusak oleh tindihan tubuhku. Aku tak mau kehadiranku di kawasan pusara Nia tercium oleh pria yang masih bersimpuh diatas pusara itu. Biarlah dia menyangka hanya dirinya bersama pusara Nia disaksikan oleh pohon kamboja yang baru tumbuh yang dipagar rapat oleh pohon-pohon dihutang lindung itu. Tak usah dia tahu kalau akupun hadir ditempat itu sebagai seorang pecundang yang hanya bisa bersembunyi dibalik punggung pohon hutan. Berjam-jam lamanya aku tak ubahnya seekor burung pencuri telur yang menanti kapan burung pemilik telur terbang meninggalkan sarangnya. Ketika bola tembaga diatas tempayang langit mulai naik sepenggalan barulah sosok kekasih Nia beranjak dari pusara itu. Pria tegap itu terus melangkahkan kakinya pergi menjauhi pusara sesekali menoleh lagi. Saat itulah akupun keluar dari tempat persembunyianku dan melangkah kearah yang lain. Harapan terakhirku telah terkabul. Diriku bisa melihat sosok yang kukagumi sebelum akhirnya berpisah untuk waktu yang tak tentu. Sampai kapanpun rasa cinta ini akan kusimpan hanya untuk satu nama. Meski kusadari ungkapan jiwa itu akan dicibir dan dihinanya seperti dunia yang masih menganggapnya sebagai kesalahan dan dosa yang tak akan terampuni. Biarlah cinta yang kurasakan ini tumbuh laksana rimbun hutan-hutan yang ada di hutan lindung Balang ini