Jumat, 12 Desember 2008

KILAU EMBUN DI TEMBAKAU BAPAK

KILAU EMBUN DI TEMBAKAU BAPAK Mataku berkunang-kunang. Semua yang ada dalam ruangan itu tampak bergerak dan terus berputar-putar. Mulutku terkunci rapat tanpa bisa berkata apa-apa. Kakiku seperti terpasung kedalam lantai keramik. Kaku dan tak bisa kugerakkan sedikitpun juga. Tak kulihat lagi tukang pos menghilang dibalik tikungan didepan kantor. Semuanya menjadi samar dipenglihatanku. Berselaput dan akhirnya gelap……. *** Berkas cahaya itu menerobos di balik kisi jendela yang terbuat dari bambu-bambu gading. Rumah kecil yang sudah beberapa tahun ini menjadi markas besar LSM tempatku menghabiskan waktu lowong bila lagi suntuk kuliah. Hari itu, seperti hari-hari yang telah berlalu sayalah yang selalu datang paling awal. Ketika matahari belum menyembul di ufuk timur dan ketika rekan-rekan yang lain masih sibuk di rumah masing-masing. Boleh dibilang shalat subuhkupun lebih banyak kulakukan ditempat ini. Saya bisa maklum dengan kondisi teman-temanku itu. Semalam kami sampai larut malam masih masih bergerak di jalan-jalan di tengah kota ini menyebar berbagai famplet yang menjadi bagian dari tugas. Pamlet,brosur dan spanduk yang isinya mengecam keberadaan rokok. Kuperhatikan scedule acara yang tertulis rapi di atas karton putih. Agenda aksi para relawan tentunya. Terlihat coretan-coretan yang sengaja kami tandai. Agenda- agenda yang akan menjadi target kami berikutnya. Semuanya tampak jelas disana. Tempat ini suntuk itu sudah kuanggap sebagai rumah keduaku. Rumah kostku yang ada di tengah pemukiman padat di kawasan Mannuruki hanya sesekali saja kudatangi. Datang hanya untuk mengambil dan menyimpan buku-buku diktat, pakaian-pakaian kotor dan tidur sejenak melepas lelah setelah seharian bergelut dengan rutinitas kampus yang teramat menjemukan. Dan terkadang muncul di akhir bulan untuk membayar tagihan air dan listrik. Selebihnya saya pasti lebih banyak di kantor LSM. Belakangan ini kegiatan LSM makin padat dan sibuk. Nyaris menyita seluruh waktuku. Bahkan saking sibuknya kuliahkupun saya tinggalkan. Maklum. Sekarang yang penting bisa diabsenkan oleh teman maka nilai tak jadi soal. Semuanya bisa diatur apalagi kalau dosennya bisa kita jilat. Akhir-akhir ini persoalan penyalahgunaan obat psikoaktif dan psikotropika makin marak saja. Sebagai LSM yang konsen melakukan advokasi pada penyalahgunaan barang tersebut mau tidak mau kami semua sibuk untuk itu. Satu agenda besar kami adalah mendukung MUI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. Yach haram. Makanya sebagai petugas lapangan saya bersama beberapa rekan pasti selalu standbye di lapangan. Tugas utama saya adalah mengumpulkan fakta-fakta yang banyak dan terpercaya yang bisa mendukung kalau rokok itu benar-benar lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya. Kami semua seperti diatas angin kala rekan-rekan dari kesehatan mendukung visi dan misi kami. Data-data tentang bahaya rokok bagi kesehatan itu menjadi senjata pamungkas kami dalam membendung serangan orang-orang yang pro dengan rokok. Seperti kemarin-kemarin, tak lupa saya pelototi agenda minggu ini. Besok LSM kami diundang sebagai panelis disebuah diskusi debat yang diadakan oleh sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama. Besoknya salah seorang dari kami akan diutus ke singapura menghadiri seminar international yang lagi-lagi berbau rokok. Yach, seperti bau rokok yang tiba-tiba menyeruak dan masuk ke lubang hidungku. Secara refleks mataku mencari sumber asap itu. Ternyata benar. Dipojok ruangan kantor tampak Jayadi yang terlihat serius di depan komputernya. Terlihat fokus didepan komputer dengan sebatang rokok terjepit ditangan. “Ide-ide rasanya makin ngejreng kalau ada rokok ditangan, Bro.” itu alasannnya setiap kutanya kenapa dia masih juga merokok. Dilematis memang. Dan bagi saya sendiri ini hal yang lucu dan menggelikan. Aneh. Diluar sana kami semua dikenal sebagai relawan dan sosok-sosok yang selalu berteriak-teriak lantang supaya keberadaan rokok dibatasi. Kalau perlu dihilangkan dalam peredaran. Terlebih bagi para remaja dan anak-anak. Alasannya banyak. Rokok jelas-jelas bisa merusak fisik dan mental mereka yang masih labil. Rokok selalu dituding sebagai pemicu timbulnya tindak kriminal dikalangan anak-anak dan remaja. Atau kalau mau jujur alasan yang paling bijak diantara semua alasan pelarangan itu adalah karena mereka belum bisa mencari nafkah sendiri. Apalagi menurut hasil survey kalau orang miskin di ndonesia menghabiskan 12 % pendapatannnya hanya untuk rokok saja. Memiriskan tentunya. Perlahan kudekati Jayadi. Menatap sesaat kelayar komputernya lalu berhenti ditangannya yang masih menjepit rokok yang hampir tinggal sedikit. “Lagi buat laporan pesanan pimpinan.” Celutuk Jayadi sudah membaca pikiranku. Dilayar itu dengan jelas terlihat bahan-bahan persentase yang akan dipakai pak Rusli,SH dalam debat besok. Hem, luar biasa. Pikirku galau. Isi makalah itu begitu bersemangat memaparkan fakta-fakta seputar bahaya rokok. Saya bisa lihat tabel-tabel rumit yang berisi informasi bahaya racun yang terkandung dalam sebatang rokok. Fantastis dan mungkin terkesan mengada-ngada. Apa benar racun yang ada dalam rokok sebanyak 4000 jenis racun. Ah, ini kata orang-orang dari ahli kesehatan. Entah siapa yang pertama kali mengatakannya.kami sebagai tim relawan hanya copy paste semua teori itu. Hebatnya lagi dalam makalah itu telah disiapkan pula bantahan-bantahan yang akan diberikan buat kubu lawan besok. Kami sebagai kubu kontra rokok sudah tahu titik kelemahan musuh. Pihak musuh selalu menggunakan alasan ekonomi dan alasan tenaga kerja dalam legalisasi rokok. Semua fakta yang akan meruntuhkan mereka lengkap dalam makalah yang sementara digarap oleh Jayadi. “Saya yakin sekali. Besok pak Rusli, SH bisa membabat fanelis lawan.” Nada keyakinan kembali terlontar dari bibir jayadi. Rokok yang tinggal filternya itu kembali dihisap dalam-dalam sebelum melayang masuk ke asbak rokok yang sudah menggunung yang sebagian abunya bahkan tercecer di atas meja. Kotor dan bau tentunya. Jayadi kembali mengambil rokok yang ada dalam bungkusan. Diselipkan diantara bibir lalu asap tebal itu kembali mengepul. Liukan-liukan asap itu seperti liukan pikiranku yang sekarang berdiri diatas ambang keraguan. Pendirianku goyah. Hatiku kembali rapuh. Ah entah mengapa sekarang saya bimbang dengan pendirianku semula. Sepertinya taringku yang dulu rincing mencabik mangsa kini tanggal dan ompong. Semangat yang kemarin begitu menggebu-gebu kini mulai redup bahkan nyaris mati. Saya kembali teringat dengan pengalamanku bersama Jayadi. Bisakah orang seperti dia bertahan duduk berlama-lama di depan komputernya tanpa sebatang rokok di selipan jarinya. Saya yakin tidak. Bahkan sewaktu kami berdua ditugaskan disuatu daerah yang terpencil Jayadi tak ubahnya seperti mayat hidup. Persiapan rokoknya habis sementara ditempat itu tak ada warung penduduk yang menjual rokok. Mampus dia. *** Matahari di atas cakrawala kian terik memanggang. Waktu telah menunjuk angka pukul delapan pagi. Saatnya kembali turun kelapangan untuk mengumpulkan data-data yang kami butuhkan. Kali ini sasaran timku adalah kalangan remaja dan anak-anak sekolahan yang biasa nongkong ditempat-tempat santai. Mall, pantai, taman dan bahkan lobby perkantoran biasanya dijadikan anak-anak itu ngumpul bersama rekan-rekannya. Disanalah tujuan kami hari itu. Ketukan cukup keras di pintu depan membuatku terkesiap. Kaget dari lamunan yang tadi sempat membuatku pangling seperti orang bodoh. Rupanya seorang petugas pos. “Irwan jafar…….” “Iya, Pak. Itu saya sendiri….” “Ini ada kiriman paket dari kampung.” “Terimaksih banyak Pak.” “ Sama-sama. Kalau begitu saya permisi. Wasalam” Sepeninggal pak pos, surat bersampul putih polos itu saya buka. Perlahan tapi pasti sampul yang dilem dengan nasi putih itu saya buka. Ada lembaran uang plastik didalamnya. Lembaran-lembaran itu di bungkus dengan carikan kertas yang berisi tulisan tangan abah saya. Irwan anakku. Syukur alhamdulillah. Panen daun tembakau yang abah tanam di lahan tidur itulah yang menjadi nafas kita kali ini. Tak ada yang bisa diharapkan dari sawah dan kebun kopi. Sawah kita rusak oleh hama sementara harga kopi jatuh. Ungtunglah daun-daun tembakau bapak ini masih meneteskan embun yang berkilau. Sepasang kakiku bergetar hebat. Kembali mataku menoleh kearah Jayadi yang masih sibuk dengan asap-asap rokoknya. Asap-asap yang seperti asap cerobong pabrik itu mulai memenuhi ruangan yang memang sudah sumpek itu. Tiba -tiba saya teringat dengan agendaku hari ini. Saya teringat dengan kuliahku. Dan pastinya saya membayangkan lambai-lambai daun tembakau Bapak yang menyimpan tetes-tetes embun dikala pagi. Semuanya mengisi otakku. Membuat perang batin itu makin berkecamuk. Saya anak petani yang hidup dari daun tembakau. Disisi lain saya adalah aktifis anti rokok dan tembakau. Saya dilema. Saya tak ubahnya bunglon yang berubah tidak pada tempatnya. Ah, ternyata tetes embun itulah yang mampu menghilangkan dahagaku ditengah oase yang makin kerontang.