Rabu, 23 Januari 2008

merajut pelangi dibalik pekat mega

merajut pelangi,dibalik pekat mega Jam dinding baru sajak berdetak enam kali. Pakaian kebesaran sudah terpasang rapi ditubuhku menutupi tempat-tempat yang ‘kuanggap” sebagai aurat yang tak bisa dilihat oleh orang yang bukan muhrimku. Seperti lazimnya perempuan yang lain. Hanya bagian wajah dan kedua telapak tanganku yang tak tertutupi oleh jubah kebesaran.tak ada pakaian ketat.tak ada pakaian yang transparan.semuanya tertutupi dengan amik tanpa kesan mengobral lekuk tubuh. Itulah keseharianku yang saat ini aktif disebuah organisasi kemanusiaan dimana aku duduk sebagai salah seorang staff operasi. Posisi seperti itu selalu menuntut waktu lebih untuk selalu siap kapan saja bila tugas memanggil. Terkadang seharian dikantor tak jarang pula dilapangan.berinteraksi langsung dengan sasaran dan audience bahkan sampai malam tiba. Hanya ketulusan dan keinginan untuk berguna pada orang lain, membuat diriku tetap enjo dengan semua itu. Praktis setiap hariku selalu disibukkan dengan urusan lembaga dan urusan kampus sebagai salah seorang mahasiswa disebuah universitas swasta.“Naik becakki, Bu?’ lugu dan polos seorang remaja tanggung yang menawarkan jasa becaknya kepadaku. Sebenarnya aku sudah terbiasa jalan kaki menuju jalan raya tempat aku mengambil angkot yang membawaku kekantor. Tapi entah mengapa hari itu aku ingin naik becak.sekedar membantu daeng becak itu.aku yakin dia sangat berharap akulah pelanggan pertamanya pagi itu.“turun didepan lembaga daeng nah!”. Sigar dan penuh semangat, daeng becak itu merapikan posisi becaknya dan mengibaskan handuk lusuhnya didudukan becak.mungkin dalam pikirannya tak pantaslah seorang gadis cantik mengotori gaun kantornya dengan debu becak yang banyak melekat karena jarang dibersihkan. Aku yakin. Diapun ngak bakalan percaya kalau pelanggan pertamanya pagi itu bukanlah wanita biasa.Kantor masih sepi. Sekilas mataku masih sempat melirik jam dinding yang masih setia dengan tugasnya sepanjang masa. Pukul 08.00 yang jika mengikuti aturan kantor yang sebenarnya, sudah selayaknya jika para pekerja sudah sibuk dimeja masing-masing. Tapi yang kulihat tak seorangpun staff yang ada ditempatnya.hanya cleaning cervice yang tampak sibuk menyelesaikan tugasnya pagi itu“pagi Tiara. Maaf terlambat lagi. Air dikostku macet lagi!”. Juwita, salah seorang staff wanita dating tergopoh-gopoh. Biasalah. Sifat seorang wanita yang serba ribet. Aku yakin.alasan air yang macet hanya alas an belaka. Waktu yang lama pasti dihabiskan didepan cermin untuk bersoleh secantik mungkin. Dandanan yang menor itu yang bicara. Syukur tak lama kemudian rekan-rekan yang lain mulai berdatangan. Tanpa ditanya mereka-mereka langsung mengoceh alas an keterlambatan mereka. Aair yang macet, banjir yang masuk kerumah, terlambat bangun karena semalam begadang menyelesaikan tugas dan banyak alas an lain lagi yang kutahu itu hanya sebuah alibi.‘Tiara.ini ada surat masuk dari sebuah lembaga kemahasiswaan. Dia meminta lembaga kita turut hadir sebagai panelis. Dan tentu saja kamu yang lebih tahu untuk hal seperti ini”. Resky, yang dipercaya sebagai sekretaris dating membawa surat kemejaku.sekilas aku hanya melirik surat yang berkop sebuah nama lembaga.“Pak ketua lebih berhak!”“pak ketua sudah melimpahkan kepadamu.beliau berhalangan karena masih diluar kota.jadi, sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi mereka akan dating menjemput”“okey.nanti aku usahakan.oh,yach. Kalau nanti ada surat masuk buat aku, langsung masukin aja kedalam kotak suratku.”. sejak bermetamormosa menjadi diriku yang sekarang ini, respon masyarakat diantififasi dengan membuat kotak surat ini. Banyak kecaman, cemohan yang menjatuhkan ketimbang membangun yang kuterima.aku maklum.masyarakat belum terbiasa dengan adanya perbedaan seperti ini.hal yang masih dianggap tabuh.Benar saja,tak lama kemudian salah seorang panitia pelaksana dating untuk menjemput. Hal ini terlihat dengan pakaian resmi organisasinya.“mbak yang akan menjadi pembicara dalam seminar nanti?” dengan sopan pemuda yang sedikit gondrong itu bertanya padaku yang lagi sibuk menyiapkan naskah-naskah dan dokumen yang akan kupakai nanti.“benar sekali dik.aku yang akan menghadiri seminar itu. Ngak apakan?’ sedikit nakal aku lembarkan senyum hangatku.“oh,ngak apa. Malah lebih asyik karena pembicaranya ternyata seorang gadis cantik. Pasti jadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan kami ini” guyonanku ditimbali dengan guyonan segar pula.aku hanya tersenyum simpul.rupanya diapun belum tahu siapa aku yang sebenarnya.“okey dik.kita langsung berangkat.saya tak ingin merusak agenda acara karena keterlambatanku ditempat.‘okey,mbak.kita berangkat sekarang”Motorpun keluar dari halaman kantor dan melaju kencang ditengah ramainya laluluintas didjalan raya. Lincah, pemuda tanggung itu menyalip angkot-angkot yang juga berlomba menjaring penumpang sebanyak-banyaknya.semua serba ingin terdepan seperti takut kehilangan sesuatu***Mewah dan elegan. Itu kesan pertamaku dengan tempat seminar ini.pengalaman sebagai pembicara didepan orang banyak dengan berbagai tipe,merupakan tantangan yang cukup berkesan.jujur rasa nervaus itu selalu dating menggoda.suasana yang berbeda, audience yang berbeda membuatku harus bisa menyesuaikan diri dan pembawaan. Rupanya saat itu diriku dipanel dengan pembicara lain dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki.seorang ustazah yang sangat terkenal, ahli psikologi dan seorang lagi dari pihak pemerintah kota. Sanggupkah aku berdiri sejajar dengan mereka?Suasana makin semarak dengan membludaknya peserta. Ruangan yang cukup luas itu tak menampung peserta yang terus berdatangan meski acara sebentar lagi dimulai. Diatas panggung, mataku bisa melihat seluruh ruangan yang kini sesak oleh pengunjung.hebat juga panita pelaksana mengangkat tema seminar.ternyata peminatnya begitu banyakSeminar hari itu dimulai dengan pengisian lembaran biodata yang diberikan oleh pihak panitia yang mesti diisi dengan lengkap. Dari biodata yang dibacakan oleh moderator diawal seminar, aku bisa tahu nama-nama panelis yang lain. Siapa nama ustazah muda,psikologi yang ternyata masih mahasiswa dan seorang staff pemerintah kota yang membidani hal-hal seperti yang menjadi bahan seminar hari itu.Pembukaan seminar langsung disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta yang berusaha mengorek informasi dari fanelis dari sudut pandang dan bidang ilmu yang dimiliki.kesan untuk menimbulkan perdebatan antar panelis sering dilontarkan oleh peserta.“saya ingin bertanya kepada ustazah hasisah. Menurut anda bagaimana dengaan keberadaan waria dimasyarakat?’. Tanya seorang peserta dari bagian belakang. Pertanyaan yang ditujukan kepada panelis pertama.‘menurut saya,waria yang biasa kita kenal sebagai orang yang terlahir sebagai laki-laki namun ingin mengubah dirinya menjadi perempuan. Mengubah takdir yang sudah ditentukan oleh penciptanya. Dalam kita yang saya tahu, mereka-mereka itu akan mendapat murka dari tuhan dan kelak masuk kedalam neraka. Mereka;ah kaum yang mengingkari eksistensinya sebagai manusia.untuk itu saya berpesan kepada kaum waria untuk segera bertobat sebelum terlambat.mereka harus sadar dan kembali sebagai laki-laki kebanyakan. Wong wanita aja sudah begitu banyak ditambah lagi dengan wanita jadi-jadian.kan lucu!!”penjelasan yang cukup panjang yang dibumbui dengan guyunan yang sedikit serius tak ayal menyundang kelak tawa dari peserta. Riuh peserta membuat suasana sedikit gaduh.hal itu segera diantisipasi oleh panitia dengan melontarkan pertanyaan yang sama untuk ditanggapi panelis lain. Berungtung, tanggapan acak itu ditujukan kepadaku“menurut mbak tiara bagaimana?’“terimaksih sebelumnya saya sampaikan kepada moderator.tapi sebelumnya saya ingin memperjelas sesuatu yang mungkin tadi belum sempat dibacakan diawal seminar. Pertanyaan itu akan saya jawab sesuai kapasitas saya sebagai aktifis dan salah seorang waria itu sendiri!”sengaja aksen aku pertegas pada saat menyebut kata waria. Aku ingin lihat respon mereka yang kini tahu kalau akupun waria.gegap gempita akubat guyunan ustadz muda tadi tiba-tiba senyap dan sunyi dengan penuturanku barusan. Benar,ternyata banyak yang tak menyangka sosok yang kalem dengan pakaian muslimah itu ternyata seorang waria.“sayalah salah seorang transeksual itu yang dimasyarakat sering dikenal dengan banyak istilah. Waria, wadam, bencong dan banyak istilah lainnya yang kadang membuat kuping kami jadi panas dan gatal.hidup dalam penuh tekanan dan penolakan dari masyarakat merupakanmakanan harian kami.tak ada yang terlewatkan seakan kami adalah objek yang potensial untuk menjadi bahan ekpoiltasi dan cercaan belaka.bahkan keinginan untuk tampil secara baik sering ditanggapi lain oleh masyarakat.keputusanku untuk menjadi waria yang muslimah seperti saat ini mendapat cercaan dari berbagai pihak dengan membawa nama-nama agama dan etika segala.waria juga manusia. Kami juga ungin diterima layaknya manusia yang lain tanpa harus dicap sebagai sampah masyarakat. Tak ada waria yang melacurkan diri kalau tak ada pria sebagai pelanggannya dan banyak lapangan pekerjaan. Kami hanya ingin menyeimbangkan antara jiwa dan raga kami.jiwa kami adalah seorang wanita yang “terperangkap” dalam raga seorang laki-laki.salahkan jika bentuk penerimaan eksistansi tersebut kami lakukan dengan melakukkan penyesuaian raga bukan jiwa.raga lebih relaitf disbanding jiwa.mungkin itu penjelasan yang bisa saya berikan menyangkut pertanyaan yang sama.terimakasih!”Aku tak tahu aplaus dari peserta sebagai bentuk cemohan atas penjelasanku atau dukungan atas perjuangan kaumku yang ingin merajut asa ditengah badai yang menerpa.seminar bubar membawa kesimpulan yang ada dibenak masing-masing.sementara itu,didalam dadku tetap aku yakini suatu hal.jilbab adalah bagian dari hidupku sebagai seorang muslimah,meski hanya waria Jam dinding baru sajak berdetak enam kali. Pakaian kebesaran sudah terpasang rapi ditubuhku menutupi tempat-tempat yang ‘kuanggap” sebagai aurat yang tak bisa dilihat oleh orang yang bukan muhrimku. Seperti lazimnya perempuan yang lain. Hanya bagian wajah dan kedua telapak tanganku yang tak tertutupi oleh jubah kebesaran.tak ada pakaian ketat.tak ada pakaian yang transparan.semuanya tertutupi dengan amik tanpa kesan mengobral lekuk tubuh. Itulah keseharianku yang saat ini aktif disebuah organisasi kemanusiaan dimana aku duduk sebagai salah seorang staff operasi. Posisi seperti itu selalu menuntut waktu lebih untuk selalu siap kapan saja bila tugas memanggil. Terkadang seharian dikantor tak jarang pula dilapangan.berinteraksi langsung dengan sasaran dan audience bahkan sampai malam tiba. Hanya ketulusan dan keinginan untuk berguna pada orang lain, membuat diriku tetap enjo dengan semua itu. Praktis setiap hariku selalu disibukkan dengan urusan lembaga dan urusan kampus sebagai salah seorang mahasiswa disebuah universitas swasta.“Naik becakki, Bu?’ lugu dan polos seorang remaja tanggung yang menawarkan jasa becaknya kepadaku. Sebenarnya aku sudah terbiasa jalan kaki menuju jalan raya tempat aku mengambil angkot yang membawaku kekantor. Tapi entah mengapa hari itu aku ingin naik becak.sekedar membantu daeng becak itu.aku yakin dia sangat berharap akulah pelanggan pertamanya pagi itu.“turun didepan lembaga daeng nah!”. Sigar dan penuh semangat, daeng becak itu merapikan posisi becaknya dan mengibaskan handuk lusuhnya didudukan becak.mungkin dalam pikirannya tak pantaslah seorang gadis cantik mengotori gaun kantornya dengan debu becak yang banyak melekat karena jarang dibersihkan. Aku yakin. Diapun ngak bakalan percaya kalau pelanggan pertamanya pagi itu bukanlah wanita biasa.Kantor masih sepi. Sekilas mataku masih sempat melirik jam dinding yang masih setia dengan tugasnya sepanjang masa. Pukul 08.00 yang jika mengikuti aturan kantor yang sebenarnya, sudah selayaknya jika para pekerja sudah sibuk dimeja masing-masing. Tapi yang kulihat tak seorangpun staff yang ada ditempatnya.hanya cleaning cervice yang tampak sibuk menyelesaikan tugasnya pagi itu“pagi Tiara. Maaf terlambat lagi. Air dikostku macet lagi!”. Juwita, salah seorang staff wanita dating tergopoh-gopoh. Biasalah. Sifat seorang wanita yang serba ribet. Aku yakin.alasan air yang macet hanya alas an belaka. Waktu yang lama pasti dihabiskan didepan cermin untuk bersoleh secantik mungkin. Dandanan yang menor itu yang bicara. Syukur tak lama kemudian rekan-rekan yang lain mulai berdatangan. Tanpa ditanya mereka-mereka langsung mengoceh alas an keterlambatan mereka. Aair yang macet, banjir yang masuk kerumah, terlambat bangun karena semalam begadang menyelesaikan tugas dan banyak alas an lain lagi yang kutahu itu hanya sebuah alibi.‘Tiara.ini ada surat masuk dari sebuah lembaga kemahasiswaan. Dia meminta lembaga kita turut hadir sebagai panelis. Dan tentu saja kamu yang lebih tahu untuk hal seperti ini”. Resky, yang dipercaya sebagai sekretaris dating membawa surat kemejaku.sekilas aku hanya melirik surat yang berkop sebuah nama lembaga.“Pak ketua lebih berhak!”“pak ketua sudah melimpahkan kepadamu.beliau berhalangan karena masih diluar kota.jadi, sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi mereka akan dating menjemput”“okey.nanti aku usahakan.oh,yach. Kalau nanti ada surat masuk buat aku, langsung masukin aja kedalam kotak suratku.”. sejak bermetamormosa menjadi diriku yang sekarang ini, respon masyarakat diantififasi dengan membuat kotak surat ini. Banyak kecaman, cemohan yang menjatuhkan ketimbang membangun yang kuterima.aku maklum.masyarakat belum terbiasa dengan adanya perbedaan seperti ini.hal yang masih dianggap tabuh.Benar saja,tak lama kemudian salah seorang panitia pelaksana dating untuk menjemput. Hal ini terlihat dengan pakaian resmi organisasinya.“mbak yang akan menjadi pembicara dalam seminar nanti?” dengan sopan pemuda yang sedikit gondrong itu bertanya padaku yang lagi sibuk menyiapkan naskah-naskah dan dokumen yang akan kupakai nanti.“benar sekali dik.aku yang akan menghadiri seminar itu. Ngak apakan?’ sedikit nakal aku lembarkan senyum hangatku.“oh,ngak apa. Malah lebih asyik karena pembicaranya ternyata seorang gadis cantik. Pasti jadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan kami ini” guyonanku ditimbali dengan guyonan segar pula.aku hanya tersenyum simpul.rupanya diapun belum tahu siapa aku yang sebenarnya.“okey dik.kita langsung berangkat.saya tak ingin merusak agenda acara karena keterlambatanku ditempat.‘okey,mbak.kita berangkat sekarang”Motorpun keluar dari halaman kantor dan melaju kencang ditengah ramainya laluluintas didjalan raya. Lincah, pemuda tanggung itu menyalip angkot-angkot yang juga berlomba menjaring penumpang sebanyak-banyaknya.semua serba ingin terdepan seperti takut kehilangan sesuatu***Mewah dan elegan. Itu kesan pertamaku dengan tempat seminar ini.pengalaman sebagai pembicara didepan orang banyak dengan berbagai tipe,merupakan tantangan yang cukup berkesan.jujur rasa nervaus itu selalu dating menggoda.suasana yang berbeda, audience yang berbeda membuatku harus bisa menyesuaikan diri dan pembawaan. Rupanya saat itu diriku dipanel dengan pembicara lain dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki.seorang ustazah yang sangat terkenal, ahli psikologi dan seorang lagi dari pihak pemerintah kota. Sanggupkah aku berdiri sejajar dengan mereka?Suasana makin semarak dengan membludaknya peserta. Ruangan yang cukup luas itu tak menampung peserta yang terus berdatangan meski acara sebentar lagi dimulai. Diatas panggung, mataku bisa melihat seluruh ruangan yang kini sesak oleh pengunjung.hebat juga panita pelaksana mengangkat tema seminar.ternyata peminatnya begitu banyakSeminar hari itu dimulai dengan pengisian lembaran biodata yang diberikan oleh pihak panitia yang mesti diisi dengan lengkap. Dari biodata yang dibacakan oleh moderator diawal seminar, aku bisa tahu nama-nama panelis yang lain. Siapa nama ustazah muda,psikologi yang ternyata masih mahasiswa dan seorang staff pemerintah kota yang membidani hal-hal seperti yang menjadi bahan seminar hari itu.Pembukaan seminar langsung disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta yang berusaha mengorek informasi dari fanelis dari sudut pandang dan bidang ilmu yang dimiliki.kesan untuk menimbulkan perdebatan antar panelis sering dilontarkan oleh peserta.“saya ingin bertanya kepada ustazah hasisah. Menurut anda bagaimana dengaan keberadaan waria dimasyarakat?’. Tanya seorang peserta dari bagian belakang. Pertanyaan yang ditujukan kepada panelis pertama.‘menurut saya,waria yang biasa kita kenal sebagai orang yang terlahir sebagai laki-laki namun ingin mengubah dirinya menjadi perempuan. Mengubah takdir yang sudah ditentukan oleh penciptanya. Dalam kita yang saya tahu, mereka-mereka itu akan mendapat murka dari tuhan dan kelak masuk kedalam neraka. Mereka;ah kaum yang mengingkari eksistensinya sebagai manusia.untuk itu saya berpesan kepada kaum waria untuk segera bertobat sebelum terlambat.mereka harus sadar dan kembali sebagai laki-laki kebanyakan. Wong wanita aja sudah begitu banyak ditambah lagi dengan wanita jadi-jadian.kan lucu!!”penjelasan yang cukup panjang yang dibumbui dengan guyunan yang sedikit serius tak ayal menyundang kelak tawa dari peserta. Riuh peserta membuat suasana sedikit gaduh.hal itu segera diantisipasi oleh panitia dengan melontarkan pertanyaan yang sama untuk ditanggapi panelis lain. Berungtung, tanggapan acak itu ditujukan kepadaku“menurut mbak tiara bagaimana?’“terimaksih sebelumnya saya sampaikan kepada moderator.tapi sebelumnya saya ingin memperjelas sesuatu yang mungkin tadi belum sempat dibacakan diawal seminar. Pertanyaan itu akan saya jawab sesuai kapasitas saya sebagai aktifis dan salah seorang waria itu sendiri!”sengaja aksen aku pertegas pada saat menyebut kata waria. Aku ingin lihat respon mereka yang kini tahu kalau akupun waria.gegap gempita akubat guyunan ustadz muda tadi tiba-tiba senyap dan sunyi dengan penuturanku barusan. Benar,ternyata banyak yang tak menyangka sosok yang kalem dengan pakaian muslimah itu ternyata seorang waria.“sayalah salah seorang transeksual itu yang dimasyarakat sering dikenal dengan banyak istilah. Waria, wadam, bencong dan banyak istilah lainnya yang kadang membuat kuping kami jadi panas dan gatal.hidup dalam penuh tekanan dan penolakan dari masyarakat merupakanmakanan harian kami.tak ada yang terlewatkan seakan kami adalah objek yang potensial untuk menjadi bahan ekpoiltasi dan cercaan belaka.bahkan keinginan untuk tampil secara baik sering ditanggapi lain oleh masyarakat.keputusanku untuk menjadi waria yang muslimah seperti saat ini mendapat cercaan dari berbagai pihak dengan membawa nama-nama agama dan etika segala.waria juga manusia. Kami juga ungin diterima layaknya manusia yang lain tanpa harus dicap sebagai sampah masyarakat. Tak ada waria yang melacurkan diri kalau tak ada pria sebagai pelanggannya dan banyak lapangan pekerjaan. Kami hanya ingin menyeimbangkan antara jiwa dan raga kami.jiwa kami adalah seorang wanita yang “terperangkap” dalam raga seorang laki-laki.salahkan jika bentuk penerimaan eksistansi tersebut kami lakukan dengan melakukkan penyesuaian raga bukan jiwa.raga lebih relaitf disbanding jiwa.mungkin itu penjelasan yang bisa saya berikan menyangkut pertanyaan yang sama.terimakasih!”Aku tak tahu aplaus dari peserta sebagai bentuk cemohan atas penjelasanku atau dukungan atas perjuangan kaumku yang ingin merajut asa ditengah badai yang menerpa.seminar bubar membawa kesimpulan yang ada dibenak masing-masing.sementara itu,didalam dadku tetap aku yakini suatu hal.jilbab adalah bagian dari hidupku sebagai seorang muslimah,meski hanya waria