Selasa, 07 April 2009

BERSELENDANG PELANGI

BERSELENDANG PELANGI Berhembuslah. Cepatlah kau beranjak dariku. Lihatlah. Kau masih lelah menyapa puncak gunung-gunung, membelai lembah dan hutan-hutan. Disana muara samudra telah menunggu kau belai. Tak usah kau diam menatapku, dan mencuri ratapanku untuk kau ceritakan pada semua orang. Pergilah angin. Pergilah. Begitu pula dengan kau awan-awan. Mengapa masih betah menggantung diatas sana? Biarkanlah matahari memelukku dengan sinarnya. Biarkanlah bola langit itu memanggang ragaku hangus. Saya ingin mata langit itu menjadi saksi dengan laku dan kataku yang selalu di hina ini. Dia saksinya. Dia selalu bersamaku dikala siang. Meski kutahu matahari selalu bisu dengan kesibukannya mengejar senja. Mimpikah saya?!, berhalusinasikah saya?, atau ada yang aneh dengan diriku. Mengapa pagi ini sekumpulan burung-burung kecil masih bersiul riuh di sekitaran rumah, melompat ke tali jemuran lalu terbang ke tatap rumah. Bukankah tempat ini adalah tanah gersang nan kering?, tempat ini hanya menyimpan polusi dan noda tak terkecuali buat mereka. Sudah hilangkah rumah-rumah nyaman tempat burung-burung itu mencari makan. Mengapa dia mau bergelut dengan kekejaman kota ini. Pergilah. Pergi dari sini. Suara cicitmu yang merdu itu hanya membuka lembaran memoriku akan kenangan indahku bersama orang tercinta di kampung sana. Kututup rapat-rapat pintu rumah yang hanya terbuat dari papan tripleks. Hembusan angin di luar rumah yang sesekali kencang sekelali sepoi membuat tirai jendela bergerak-gerak gemulai. Kututup pintu jendela itu. Kamar kontrakan yang tidak beitu luas menjadi temaram dan sunyi. Hanya berkas sinar yang menerobos melalui celah-celah kamar yang membentuk seluet garis di lantai dan dinding kamar. Kamar yang kusulap menjadi salon tempatku mengais rezeki di kota ini. Sengaja kumatikan lampu kamar yang tidak begitu terang. Saya butuh rasa sunyi. Saya butuh kegelapan. Hanya itu yang bisa mengantarku masuk dalam gelombang alfaku. Gelombang ketenanganku. Tempat dimana batinku bisa menjerit langsung kepada zat yang bersemayam diatas arsyNya. Kuhempaskan pantatku yang berbentuk terbalut jeans ketat nan seksi. Kuperhatikan ujung kakiku yang hanya beralas sandal jepit. Tak ada yang aneh disana. Perlahan pandangan mataku beralih lebih ke atas. Betis itu terlihat halus terawat. Hanya bulu-buluh halus yang mulai tumbuh disana. Tidak begitu hitam dan lebat. Bulu-bulu halus itulah yang kulihat berpendar-pendar di tengah kamar yang temaram. Kualihkan lagi pandangan mataku pada sepasang tanganku. Tangan yang cukup lentik. Tangan yang gemulai. Tangan yang terawat dari Lumpur dan tanah, tanah yang terawat dari benda-benda kasar. Tangan itu halus. Kuku-kuku yang berhias disana selalu kupotong rapih. Tak jarang pula kuwarnai dnegan pewarna kuku yang berwarna-warni. Tetapi minggu ini kuku-kuku itu tak kuwarnai lagi. Tak ada waktu lagi. Aku sibuk. Kusandarkan lepas tubuhku pada sandaran kursi. Dengan sepasang tanganku kurabah wajah, hidung, bibir dan mata. Permukaan yang halus itu kurabah seakan tangan itulah menjadi mataku. Ingin kulihat rupaku melalui sentuhan tanganku. Kurasakan sepasang alisku masih hitam lebat. Tak ada yang aneh disana. Matakupun begitu. Hanya celak hitam yang kugores tipis. Itupun beberapa hari yang lalu. Dibibirku yang kata orang montok sensual terasa kering dan terkelupas. Sudah beberapa hari ini tak kuolesi madu. Entahlah. Saya tak begitu suka dengan produk-poduk lipstick yang dijual orang. Bagiku semua itu hanya membuat bibirku makin kering. Tanganku terus bergerilya disana. Wajah yang tak jarang dipuji oleh pelanggan yang datang. Katanya, wajahku menyimpan kecantikan yang unik. Kecantikan itu berpadu sempurna dengan wajah tampanku. Perpaduan yang unik. Keserasian yang indah tanpa saling merusak dua rona. Kecantikan dan ketampanan yang berpadu dalam satu raga. Semua itu kuanggap sebagai karunia yang musti kusyukuri. Tetapi dari sanalah pula semua petaka ini berawal……. *** Sepasang tanganku telah terbiasa memainkan alat-alat cukur seperti yang kupakai sekarang. Gunting, mesin pemotong rambut, sisir, penjepit rambut, obat-obatan rambut. Semuanya sudah terbiasa kulakukan. Kemampuan dan keahlian yang mungkin umum dimiliki oleh orang dengan profesi sama denganku. Pekerja salon. Salon sederhana yang kusulap dari bagian kost kontrakan itu terbilang ramai oleh pelanggan. Mereka-mereka yang ingin memotong rambut atau hanya merapikan rambutnya selalu antri di kursi yang kusiapkan. Saya senang melihat mereka tetap setia sebagai pelanggangku. Padahal saya tahu di depan sana ada salon yang lebih besar dan lengkap. Pelanggan salonku kebanyakan mahasiwa yang juga indekost dekat salon. Satu dua orang pelanggan adalah orang bermobil dan dari kelas elit. Mereka-mereka inilah yan tak jarang memberiku tips yang lebih besar dari biaya jasa yang kuberikan. Usaha apapun pasti butuh sikap ramah dan senyum pemiliknya. Termasuk usaha salon yang kugeluti. Saya selalu berusaha akrab dan hangat pada semua orang. Tak peduli dia orang apa dan berprofesi apa. Apakah dia kuli kasar, mahasiswa, ataupun pelanggan yang datang dengan mobil mewahnya. Seperti malam itu. Seorang pelanggan datang dengan mobil mewahnya. Seperti biasa, pelanggan langsung kupersilahkan kemeja rias. Setelah berbasa-basi mengenai bentuk dan model rambut yang dia inginkan, sayapun mulai merapikan rambut yang terlihat terawat itu. “Asli mana?” “Asli Malino” Jawaban yang singkat dan padat. Ada keanehan yang sempat menamparku. Sekian lama orang itu menjadi pelanggan setia salon baru kali ini bertanya hal-hal yang sedikit intim. “Sudah lama nyalon?” “Belum lima bulan Mas.” “Tinggal dengan siapa?” “Sendiri” Mata dan konsentrasiku hanya mau fokus pada rambut di kepalanya. Sementara laki-laki yang tercium wangi, dan tampan itu terus mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Ah, telingahku sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan klise dari pelanggan seperti itu. Tetapi entah mengapa orang yang satu ini begitu beda. Batinku berbisik kalau orang tersebut tidak asal bertanya. “Sudah punya pacar?” “Belum” “Kenapa belum”. Saya tak bisa menjawab pertanyaan yang terakhir. Untuk menyembunykan rasa keterkejutanku terpaksa kupoles seutas senyum dibibir. Orang ini aneh dan ngotot ingin tahu tentang diriku. Bagi saya pacar dan sebagainya adalah urusan privasi yang tak perlu orang lain tahu. Apalagi hubungan saya dengan semua pelanggan hanya sebatas relasi bisnis. Hanya itu. “Saya masih sendiri”. Itu kata yang terlontar lirih dari mulutnya kemudian. Terkesan di tahan namun jelas terdengar diteligaku. Saya hanya berpura-pura tidak mengerti dan tidak mau tahu apa maksud dengan kesendiriannya tadi. Meski disisi lain ada geliat aneh yang mengalir di bawah alam sadarku. “Terus……..”, entah mengapa saya menjadi orang bodoh dan kikuk saat itu. Orang yang lugupun pasti akan tahu maksud dari perkataannya tadi. Terlebih melihat gelagat dan arah pembicaraan dari awal tadi. “Kau mau jadi kekasihku?” “Tidak mungkin. Kamu tampan dan macho” jawabku menolak untuk menepis sekelumit keraguan yang menggelayut. Seriuskah orang itu? kuperhatikan kalau fisik orang itu nyaris sempurna sebagai seorang laki-laki sejati. Orang itu nyaris tanpa cela. Dia tampan, kaya dan ramah. Perempuan secantik apapun tidak akan berfikir dua kali untuk menjalin kekasih dengannya. Malam kian larut. Jam dinding menunjuk angka sepuluh malam. Sudah waktunya salon tutup. Orang yang banyak berseleweran depan salonpun sudah mulai sepi. Rangga, nama orang itu masih betah berlama-lama di dalam salon. Rambutnya sudah kucuci bersih dari sisa-sisa potongan rambut. Dia semakin tampan dimataku. Dia semakin memikat hati yang menatapnya. Rangga kemudian pindah ke sofa setelah sebelumnya membayar jasa potong rambutnya. Seharusnya dia segera pulang. Urusanku dengan dia sudah selesai.untuk apa lagi dia tinggal? Pikirku risau. Ada peperangan batin yang bergolak hebat di dadaku. Ada rasa senang bila dia berlama-lama. Bagiku ini adalah pemandangan tak biasa yang jarang kunikmati. Disisi lain, ada ketakutan, keresahan, dan rasa was-was. Apa kata orang diluar ana bila melihat saya berdua-duaan dengan seorang laki-laki. Aku tak bias membayangkan pikiran orang-orang itu. Pikiran orang yang terlanjur aneh buat pekerja salon sepertiku selalu membuat telinga jadi merah. Saya tak tahu harus berkata apa pada orang itu. Bukan kebiasaanku untuk mengusir orang dari rumah. Tapi ketakutan akan cibiran orang membuatku gelisah di depan Rangga. “Mobilku macet tadi. Boleh saya menginap semalam” “Tetapi……..” “Satu malam saja” Iblis selalu datang bersama bayangan surga yang dibawahnya. Kesenangan sesaat yang kadang menjerumuskan kala orang terlena. Malam itu kurengkuh bintang-bintang yang bertaburan dilangit bersama Rangga. Dengan semangat yang sama-sama menjulang meraih tingginya gunung kenikmatan. Malam yang menjadi surga sekaligus menjadi neraka. Tidak. Mengapa ini terjadi. Saya bukanlah pekerja salon seperti itu. Disinilah seribu rona menyapa membentuk selendang pelangi. Kala kebaikan dan keburukan memilin dan bias oleh kesenangan semu. Derita itu memelintir. Saat itulah penyesalan mulai menhampiriku.

Rabu, 01 April 2009

TIMBUSU’ LELASA’

Kucoba menyelami kecamuk batin yang menggelora di dada laki-laki setengah baya yang berdiri menghadang langkahku. Sosok laki-laki adalah abbahku. Beliau dating menjenguk langsung dari kampong beberapa hari yang lalu. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku sedikit kaget. Tak biasanya abbah dating tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Pasti ada yang penting dan tak perlu memberitahuku terlebih dahulu. Abah dating sendiri tanpa ummi dan adikku. Abbah masih berdiri tegap di pintu sambil tangannya yang berotot memegang daun pintu yang setengah terbuka. Sempat kukagumi tangah tua yang masih berotot itu. Itu tangan pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Itu tangan legam karena panggangan matahari. Itu tangan keriput karena guyuran hujan. Entahlah.apakah kulit itu makin kusam karena Lumpur yang melekat atau karena apa. “Tabe’,Abbah. Elokka ammalo”. Dengan logat bahasa Konjo yang sopan saya memohon izin pada abbah supaya memberi saya jalan. Sangat tidak sopan dalam tradisi kami untuk lewat didepan orangtua tanpa sepatah kata. “Latamaeko, Nak. Larangmi pattangia”. Suaranya yang tegas membuatku sedikit merinding. Saya merasakan ada yang tidak beres di balik getaran suara itu. Tegas namun menyimpan amarah yang membara. Ada apa ini? Apakah Abbah sudah tahu dengan tujuanku malam itu?, apakah dia tahu malam ini saya mau pergi kemana dan bertemu dengan siapa?. Kucoba membantah semua ketakutan-ketakutan itu. Tidak mungkin Abbah tahu. Tahu apa Abbah, Ummi ataupun orang-orang se kampung tentang apa yang kulakukan di sini.Yang mereka tahu adalah menjalani hari-hari yang monoton bersama ternak gembalaan. Membajak sawah dan ladang di pagi hari sampai matahari condong di punggung Gunung Bawakaraeng. Sorenya pulang ke rumah. Mandi untuk membersihkan Lumpur yang melekat. Makan malam dan akhirnya naik ke Dipan pembaringan sambil meringkuk di balik selimut untuk mengusir dinginnya udara pegunungan malam hari. Dan untuk saya mereka tahunya kalau anak perempuannya sedang kuliah mencari ilmu. Yach, sekolah di perguruan tinggi yang pada akhirnya nanti menjadi sarjana. Itu saja. Kucoba menenangkan kecamuk perasaanku yang mulai di balut gelisah. Perasaanku campur aduk antara takut, resah,dan bimbang. Takut kalau apa yang selama ini kututupi mereka tahu. Kalau benar mereka sudah tahu dengan kegiatanku kira-kira tahu dari mana?. Padahal saya merasa yakin kalau kegiatan tambahanku sangat-sangat kurahasiakan bukan hanya kepada orang sekampung bahkan teman sekontrakanpun tidak ada yang tahu. Entahlah kalau angin yang bertiup kecoplosan membisiki mereka. “Nak, jagai siri’nu, siri’ tau toannu toong”. Suara Abbah yang berat kembali terdengar di tengah malam yang beranjak sepi. Ungtunglah tetangga-tetangga kamar sudah tidur. Sehingga ceramah gratis malam itu tidak menjadi bahan tontonan mereka. Sementara itu saya masih pura-pura tidak tahu apaitu siri’ yang dimaksud oleh Abbah tadi. Tapi yang pasti kata itu menjurus ke harga diri. Harga diriku sebagai anak, harga diriku sebagai perempuan, harga diri mereka sebagai orangtua yang telah melahirkan saya. Yang semuanya perlu saya jaga. “Tenaja, Abbah. Elokkuji sulukang mange arapa ri kampusku”. Segala cara ingin kutunjukkan kalau malam itu saya tetaplah anaknya yang patut untuk dia banggakan kepada sanak keluarga di kampung. Tak sia-sia usaha mereka membanting tulang membiayai kuliahku. Meski jujur kuakui kalau di dalam dada ini hatiku menjerit dan menangis. Masih ada secuil ruang di sanubariku yang mungkin belum kotor oleh noda kehidupan ini. Saya sudah bohong pada Abbahku sendiri. Malam itu, saya terpaksa kembali bersembunyi di balik alasan kesibukan sebagai aktifis kampus. Padahal apa. Sampai saya menginjak semester V tak satupun organisasi kampus pernah kumasuki. Bagi seorang sitti Nurhayati semua itu hanya pemborosan waktu dan tenaga belaka. Hari-hariku hanya disibukkan oleh deringan ponsel yang takmengenal waktu meminta Nury untuk datang ketempat yang telah ditentukan. “Ellako Caniki!!!”. Bentak Abbah dengan nada melengking tinggi. Kurasakan suara berat itu terus menggema di dinding telingahku. Abbah benar-benar marah. Sorot mata yang tajam, bibir bergetar menahan marah, dan tangan mengepal di daun pintu kamar adalah buktinya. Tak pernah kulihat Abbah dengan espresi seperti itu. “Abbah…….”, suaraku menciut. Suaraku yang memang lembut mendayu itu Nyaris tak terdengar di telingahku apalagi Abbah. Saya benar-benar takut. Kurasakan semua topeng kebohonganku terlucuti malam itu. Kebusukanku sudah tercium. Aibku benar-benar sudah terbongkar. Saya pasrah. Apapun yang akan dilakukan Abbah padaku malam itu harus kuterima. Mau memukulku ataupun membentakku saya hanya pasrah menerimanya. Saya tak bisa bersilat lidah lagi sekedar selamat dari sidang pengadilan malam itu. Saya tahu sifat Abbah bila marah. Tak satupun diantara anaknya yang bisa membantah Lama keheningan menyeruak menemani kami. Saya hanya bisa tertunduk diam dihadapan abbah yang menatapku dengan penuh kekecewaan. Bilau diam. Saya diam. Hanya detak dinding yang bernyanyi bersama cicak yang merayap disana. “Kau Taulolonna Balassuka, Sitti”. kali ini suara Abbah kembali terdengar.suara itu melunak. Kembali ke suara Abbah yang kukenal lembut dan sayang pada anak-anaknya. Suara itu begitu menghipnotis. Bahkan terdengar teramat teduh ditelingahku. Refleks kudongakkan kepalaku yang sejak tadi hanya bisa tertunduk dalam. Saya tak percaya dengan apa yang saya lihat. Abah menangis!. Kedua mata Abbah basah. Kulihat aliran air mata perlahan namun pasti mengalur di pipi keriputnya. Laki-laki tegar oleh tempaan kerasnya kehidupan menangis di depan buah hatinya, belahan jiwanya yang kelak diharapkannya menjadi tumbuan di hari tua. Kepasrahan, ketabahan, dan cinta abadi seorang Abbahlah yang membuat benteng keangkuhanku runtuh. Sisa -sisa kesombongan itu hilang dan raib dicuci pesona seorang Abbah. Padahal didalam hati ini ingin mengumpat, ingin mencela dan ingin menyalahkan Abbah sebagai orangtua yang tak bisa memberikan apa yang kubutuhkan. Saya tadinya sudah siap dengan alibi mengapa semua ini kulakukan. Egoku berkata kalau kesalahan ini berawal dari mereka sebagai orangtua. Tapi dari semua peristiwa malam itu membuatku Tak kuasa lagi menahan beribu rasa yang selama ini mengadu-ngaduk perasaanku. Di malam sunyi itu suara tangisku melolong memecah malam. Ledakan perasaan seorang anak perempuan yang kembali larut dalam alam kesadaran. lava yang lama terpendam itu akhirnya keluar membentuk letusan tangis yang menyayat hati. Aku menyerah….. “Pammoporangnga, Abbah. Parallua ri doi’ kodong!!!”.kujatuhkan kesombonganku didepan kaki abbah yang masih berdiri didepan pintu yang sedikit terbuka. Tangisku rebah bersama keterbukaan yang ingin kungkapkan. Selaput misteri itu kuungkap semua pada Abbah malam itu. Semua kuceritakan. Semua keluh kesahku kutumpahkan malam itu Yah semua itu kujalani karena keterpaksaan belaka. Kujalani hidup sebagai mahasiswi di satu sisi dan ayam kampus disisi lain. Realita yang musti kujalani mau atau tidak mau. Sangat salah kalau orang menilaiku melakukan ini karena memperturutkan sifat matre dan mengikuti arus kehidupan kota yang serba gemerlapan belaka. Sungguh alasan utama seorang Sitti nurhayati atau Nury bukan karena itu. Saya butuh uang. Mungkin itu alasan klise. Tapi itulah faktanya. Dari mana saya bisa membayar uang kuliah, biaya fotokopi,buku, dan diktat kuliah, uang kontrakan kamar, dan biaya hidup lainnya. Saya juga butuh makan. Butuh penyegaran dari rutinitas kampus yang teramat menjemukan. Dari mana kuperoleh uang untuk itu semua. Dari kampungkah? Mengharap kiriman bulanan dari abah yang tak ubahnya Timbusu (mata air) yang lebih sering kering dari pada mengalirkan air. Dari mana? Mengharap beasiswa untuk mahasiswi yang tidak mampu sepertinya tidak mungkin. Jatah yang diperuntukkan bagi mahasiswi sepertiku sudah di tadah habis oleh mahasiswi lain yang lihai menjilat penguasa kampus. Terpaksalah jalan pintas seperti ini menjadi pilihan orang sepertiku. Maafkan saya Abbah. Saya tidak bermaksud mengungkit ini semua. Tidak secuilpun niat di hati anakmu ini untuk menorehkan luka dan aib yang mungkin tak bisa termaafkan itu. Tuhan di atas sana tahu segalanya. Pada Dialah semua ini tak pernah kusembunyikan. *** Kutatap kamar kontrakan ukuran 3 x 4 meter yang selama ini kutempati. Hari ini saya dan abbah akan kembali ke kampong halaman. Tinggal menunggu mobil jemputan yang menjadi langganan kami. Banyak kenangan yang tak bisa kulupakan membayang di sana. Di pojok kamar selalu kulakukan sujud malam untuk memohon ampunan kepada penguasa alam atas dosa-dosa yang kulakukan karena pekerjaan kotor ini. Saya tahu dan sadar kalau perbuatan itu salah. Saya sadar sebelum melakukannya begitu pula setelah melakukannya. Dari kontak langsung dengan tuhan itulah aku berkeluh kesah dengan semua noda-noda hitamku. Sungguh banyak kenangan manis dan pahit terpahat disana. Bahkan di dinding kamar masih tertulis nomor-nomor ponsel para pria kesepian yang selalu minta jasaku. Biarlah nomor-nomor itu tetap disana. Saya tak ingin menghapusnya.karena kenangan itu teramat berwarna dalam sorot pelangi kehidupanku. Kamar sempit itu kini terlihat lebih lapang. Tumpukan barang-barangku sudah kurapikan dalam dus-dus bekas karton mie instant. Barang-barang itu akan saya bawah pulang ke kampung. Berat rasanya meninggalkan bangku kuliah yang tinggal selangkah lagi. Ibarat pohon, saya telah menjadi bakal buah dari bunga yang sekian lama ini mekar. Tinggal menunggu waktu buah itu akan masak. Sayang, sebelum semuanya terjadi buah kecil itu sudah gugur ke tanah. Buahnya lelasa’. Jatuh dan gugur sebelum masanya. Catatan: Timbusu : mata air yang muncul dipermukaan tanah. Lelasa’ : istilah untuk buah yang masak belum waktunya. Jatuh sebelum benar-benar matang sempurna.