Rabu, 01 April 2009

TIMBUSU’ LELASA’

Kucoba menyelami kecamuk batin yang menggelora di dada laki-laki setengah baya yang berdiri menghadang langkahku. Sosok laki-laki adalah abbahku. Beliau dating menjenguk langsung dari kampong beberapa hari yang lalu. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku sedikit kaget. Tak biasanya abbah dating tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Pasti ada yang penting dan tak perlu memberitahuku terlebih dahulu. Abah dating sendiri tanpa ummi dan adikku. Abbah masih berdiri tegap di pintu sambil tangannya yang berotot memegang daun pintu yang setengah terbuka. Sempat kukagumi tangah tua yang masih berotot itu. Itu tangan pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Itu tangan legam karena panggangan matahari. Itu tangan keriput karena guyuran hujan. Entahlah.apakah kulit itu makin kusam karena Lumpur yang melekat atau karena apa. “Tabe’,Abbah. Elokka ammalo”. Dengan logat bahasa Konjo yang sopan saya memohon izin pada abbah supaya memberi saya jalan. Sangat tidak sopan dalam tradisi kami untuk lewat didepan orangtua tanpa sepatah kata. “Latamaeko, Nak. Larangmi pattangia”. Suaranya yang tegas membuatku sedikit merinding. Saya merasakan ada yang tidak beres di balik getaran suara itu. Tegas namun menyimpan amarah yang membara. Ada apa ini? Apakah Abbah sudah tahu dengan tujuanku malam itu?, apakah dia tahu malam ini saya mau pergi kemana dan bertemu dengan siapa?. Kucoba membantah semua ketakutan-ketakutan itu. Tidak mungkin Abbah tahu. Tahu apa Abbah, Ummi ataupun orang-orang se kampung tentang apa yang kulakukan di sini.Yang mereka tahu adalah menjalani hari-hari yang monoton bersama ternak gembalaan. Membajak sawah dan ladang di pagi hari sampai matahari condong di punggung Gunung Bawakaraeng. Sorenya pulang ke rumah. Mandi untuk membersihkan Lumpur yang melekat. Makan malam dan akhirnya naik ke Dipan pembaringan sambil meringkuk di balik selimut untuk mengusir dinginnya udara pegunungan malam hari. Dan untuk saya mereka tahunya kalau anak perempuannya sedang kuliah mencari ilmu. Yach, sekolah di perguruan tinggi yang pada akhirnya nanti menjadi sarjana. Itu saja. Kucoba menenangkan kecamuk perasaanku yang mulai di balut gelisah. Perasaanku campur aduk antara takut, resah,dan bimbang. Takut kalau apa yang selama ini kututupi mereka tahu. Kalau benar mereka sudah tahu dengan kegiatanku kira-kira tahu dari mana?. Padahal saya merasa yakin kalau kegiatan tambahanku sangat-sangat kurahasiakan bukan hanya kepada orang sekampung bahkan teman sekontrakanpun tidak ada yang tahu. Entahlah kalau angin yang bertiup kecoplosan membisiki mereka. “Nak, jagai siri’nu, siri’ tau toannu toong”. Suara Abbah yang berat kembali terdengar di tengah malam yang beranjak sepi. Ungtunglah tetangga-tetangga kamar sudah tidur. Sehingga ceramah gratis malam itu tidak menjadi bahan tontonan mereka. Sementara itu saya masih pura-pura tidak tahu apaitu siri’ yang dimaksud oleh Abbah tadi. Tapi yang pasti kata itu menjurus ke harga diri. Harga diriku sebagai anak, harga diriku sebagai perempuan, harga diri mereka sebagai orangtua yang telah melahirkan saya. Yang semuanya perlu saya jaga. “Tenaja, Abbah. Elokkuji sulukang mange arapa ri kampusku”. Segala cara ingin kutunjukkan kalau malam itu saya tetaplah anaknya yang patut untuk dia banggakan kepada sanak keluarga di kampung. Tak sia-sia usaha mereka membanting tulang membiayai kuliahku. Meski jujur kuakui kalau di dalam dada ini hatiku menjerit dan menangis. Masih ada secuil ruang di sanubariku yang mungkin belum kotor oleh noda kehidupan ini. Saya sudah bohong pada Abbahku sendiri. Malam itu, saya terpaksa kembali bersembunyi di balik alasan kesibukan sebagai aktifis kampus. Padahal apa. Sampai saya menginjak semester V tak satupun organisasi kampus pernah kumasuki. Bagi seorang sitti Nurhayati semua itu hanya pemborosan waktu dan tenaga belaka. Hari-hariku hanya disibukkan oleh deringan ponsel yang takmengenal waktu meminta Nury untuk datang ketempat yang telah ditentukan. “Ellako Caniki!!!”. Bentak Abbah dengan nada melengking tinggi. Kurasakan suara berat itu terus menggema di dinding telingahku. Abbah benar-benar marah. Sorot mata yang tajam, bibir bergetar menahan marah, dan tangan mengepal di daun pintu kamar adalah buktinya. Tak pernah kulihat Abbah dengan espresi seperti itu. “Abbah…….”, suaraku menciut. Suaraku yang memang lembut mendayu itu Nyaris tak terdengar di telingahku apalagi Abbah. Saya benar-benar takut. Kurasakan semua topeng kebohonganku terlucuti malam itu. Kebusukanku sudah tercium. Aibku benar-benar sudah terbongkar. Saya pasrah. Apapun yang akan dilakukan Abbah padaku malam itu harus kuterima. Mau memukulku ataupun membentakku saya hanya pasrah menerimanya. Saya tak bisa bersilat lidah lagi sekedar selamat dari sidang pengadilan malam itu. Saya tahu sifat Abbah bila marah. Tak satupun diantara anaknya yang bisa membantah Lama keheningan menyeruak menemani kami. Saya hanya bisa tertunduk diam dihadapan abbah yang menatapku dengan penuh kekecewaan. Bilau diam. Saya diam. Hanya detak dinding yang bernyanyi bersama cicak yang merayap disana. “Kau Taulolonna Balassuka, Sitti”. kali ini suara Abbah kembali terdengar.suara itu melunak. Kembali ke suara Abbah yang kukenal lembut dan sayang pada anak-anaknya. Suara itu begitu menghipnotis. Bahkan terdengar teramat teduh ditelingahku. Refleks kudongakkan kepalaku yang sejak tadi hanya bisa tertunduk dalam. Saya tak percaya dengan apa yang saya lihat. Abah menangis!. Kedua mata Abbah basah. Kulihat aliran air mata perlahan namun pasti mengalur di pipi keriputnya. Laki-laki tegar oleh tempaan kerasnya kehidupan menangis di depan buah hatinya, belahan jiwanya yang kelak diharapkannya menjadi tumbuan di hari tua. Kepasrahan, ketabahan, dan cinta abadi seorang Abbahlah yang membuat benteng keangkuhanku runtuh. Sisa -sisa kesombongan itu hilang dan raib dicuci pesona seorang Abbah. Padahal didalam hati ini ingin mengumpat, ingin mencela dan ingin menyalahkan Abbah sebagai orangtua yang tak bisa memberikan apa yang kubutuhkan. Saya tadinya sudah siap dengan alibi mengapa semua ini kulakukan. Egoku berkata kalau kesalahan ini berawal dari mereka sebagai orangtua. Tapi dari semua peristiwa malam itu membuatku Tak kuasa lagi menahan beribu rasa yang selama ini mengadu-ngaduk perasaanku. Di malam sunyi itu suara tangisku melolong memecah malam. Ledakan perasaan seorang anak perempuan yang kembali larut dalam alam kesadaran. lava yang lama terpendam itu akhirnya keluar membentuk letusan tangis yang menyayat hati. Aku menyerah….. “Pammoporangnga, Abbah. Parallua ri doi’ kodong!!!”.kujatuhkan kesombonganku didepan kaki abbah yang masih berdiri didepan pintu yang sedikit terbuka. Tangisku rebah bersama keterbukaan yang ingin kungkapkan. Selaput misteri itu kuungkap semua pada Abbah malam itu. Semua kuceritakan. Semua keluh kesahku kutumpahkan malam itu Yah semua itu kujalani karena keterpaksaan belaka. Kujalani hidup sebagai mahasiswi di satu sisi dan ayam kampus disisi lain. Realita yang musti kujalani mau atau tidak mau. Sangat salah kalau orang menilaiku melakukan ini karena memperturutkan sifat matre dan mengikuti arus kehidupan kota yang serba gemerlapan belaka. Sungguh alasan utama seorang Sitti nurhayati atau Nury bukan karena itu. Saya butuh uang. Mungkin itu alasan klise. Tapi itulah faktanya. Dari mana saya bisa membayar uang kuliah, biaya fotokopi,buku, dan diktat kuliah, uang kontrakan kamar, dan biaya hidup lainnya. Saya juga butuh makan. Butuh penyegaran dari rutinitas kampus yang teramat menjemukan. Dari mana kuperoleh uang untuk itu semua. Dari kampungkah? Mengharap kiriman bulanan dari abah yang tak ubahnya Timbusu (mata air) yang lebih sering kering dari pada mengalirkan air. Dari mana? Mengharap beasiswa untuk mahasiswi yang tidak mampu sepertinya tidak mungkin. Jatah yang diperuntukkan bagi mahasiswi sepertiku sudah di tadah habis oleh mahasiswi lain yang lihai menjilat penguasa kampus. Terpaksalah jalan pintas seperti ini menjadi pilihan orang sepertiku. Maafkan saya Abbah. Saya tidak bermaksud mengungkit ini semua. Tidak secuilpun niat di hati anakmu ini untuk menorehkan luka dan aib yang mungkin tak bisa termaafkan itu. Tuhan di atas sana tahu segalanya. Pada Dialah semua ini tak pernah kusembunyikan. *** Kutatap kamar kontrakan ukuran 3 x 4 meter yang selama ini kutempati. Hari ini saya dan abbah akan kembali ke kampong halaman. Tinggal menunggu mobil jemputan yang menjadi langganan kami. Banyak kenangan yang tak bisa kulupakan membayang di sana. Di pojok kamar selalu kulakukan sujud malam untuk memohon ampunan kepada penguasa alam atas dosa-dosa yang kulakukan karena pekerjaan kotor ini. Saya tahu dan sadar kalau perbuatan itu salah. Saya sadar sebelum melakukannya begitu pula setelah melakukannya. Dari kontak langsung dengan tuhan itulah aku berkeluh kesah dengan semua noda-noda hitamku. Sungguh banyak kenangan manis dan pahit terpahat disana. Bahkan di dinding kamar masih tertulis nomor-nomor ponsel para pria kesepian yang selalu minta jasaku. Biarlah nomor-nomor itu tetap disana. Saya tak ingin menghapusnya.karena kenangan itu teramat berwarna dalam sorot pelangi kehidupanku. Kamar sempit itu kini terlihat lebih lapang. Tumpukan barang-barangku sudah kurapikan dalam dus-dus bekas karton mie instant. Barang-barang itu akan saya bawah pulang ke kampung. Berat rasanya meninggalkan bangku kuliah yang tinggal selangkah lagi. Ibarat pohon, saya telah menjadi bakal buah dari bunga yang sekian lama ini mekar. Tinggal menunggu waktu buah itu akan masak. Sayang, sebelum semuanya terjadi buah kecil itu sudah gugur ke tanah. Buahnya lelasa’. Jatuh dan gugur sebelum masanya. Catatan: Timbusu : mata air yang muncul dipermukaan tanah. Lelasa’ : istilah untuk buah yang masak belum waktunya. Jatuh sebelum benar-benar matang sempurna.

Tidak ada komentar: